Menyingkap Holocaust yang Terlupakan


Lukman Solihin
 
Sejarah tak hanya mencatat sesuatu yang heroik dan romantik. Sejarah (seharusnya) juga merekam dan mewartakan cerita pedih, sepedih tragedi Nanking.

Kalau bukan karena cerita memilukan yang dikisahkan orang tuanya, boleh jadi Irish Chang takkan pernah tahu riwayat salah satu tragedi terbesar di zaman modern itu. Bertahun-tahun cerita pembantaian penduduk Kota Nanking oleh balatentara Jepang berkelebat saja sebagai bagian dari imajinasi masa kecilnya. Orang tuanya yang selamat dari peristiwa itu, hidup menggelandang dari daratan China menuju Taiwan, kemudian ke Amerika Serikat—tempat Chang dibesarkan dan meniti karier sebagai jurnalis dan penulis profesional.

Tetapi, kisah tragis Nanking ternyata tak banyak dicatat sejarah. Buku-buku babon tentang sejarah PD II, seperti Memoirs of the Second World War karangan Winston Churchill, atau Second World War karangan Gerhard Weinberg sama sekali tidak memuat keterangan tentang tragedi Nanking. Memori masa kanak-kanak itu kembali mencuat saat Chang menghadiri sebuah koferensi Aliansi Global untuk Melindungi Sejarah Perang Dunia II di Asia tahun 1994, yang memamerkan foto para korban tragedi Nanking yang disebutnya “foto-foto terkejam yang pernah kulihat dalam hidupku”.

Walaupun ia telah begitu sering mendengar cerita kekejaman Nanking dari orang tuanya, toh Chang tetap syok menatap gambar-gambar seukuran poster yang memotret jelas kekejaman itu: gambar hitam putih kepala-kepala yang dipenggal, perut-perut menganga, wanita telanjang yang dipaksa berpose dengan berbagai gaya, juga gambar wanita-wanita yang tewas sehabis diperkosa dan dianiaya dengan bayonet atau tongkat yang menghujam beberapa titik pada tubuhnya.

Lantas, mengapa pembantaian yang diperkirakan menewaskan sekira 300.000 jiwa dalam waktu (hanya) enam Minggu dan 80.000 di antaranya diperkosa dengan sadis, tidak tercatat secara gamblang dalam sejarah—yang artinya tidak diketahui secara luas oleh masyarakat dunia? Dalam penyelidikannya, Chang kemudian tahu, bahwa pemerintah Jepang secara sistematis menyembunyikan tragedi itu. Negara adidaya seperti Amerika pun merasa tak memiliki kepentingan khusus untuk menguaknya, karena pasca-PD II, Jepang merupakan sekutu Amerika untuk melawan penetrasi komunisme di Asia.

Kondisi tersebut memotivasi Chang untuk mengadakan riset mendalam tentang sejarah pembantaian Nanking. Hasil riset itulah yang kemudian dipublikasikan dengan judul The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II (buku terjemahan yang diterbitkan Penerbit NARASI berjudul sama, dengan anak judul: Holocaust yang Terlupakan dari Perang Dunia Kedua).

Secara eksplisit Chang memang menyamakan tragedi ini dengan pembantaian Yahudi yang dilakukan NAZI di bawah Hitler. Bagi Chang, meskipun holocaust merupakan tragedi terbesar pada masyarakat modern (menewaskan sekitar 6 juta orang Yahudi), namun kekejaman itu dilakukan dalam rentang enam tahun. Bandingkan dengan kekejaman tentara Jepang yang membantai ratusan ribu penduduk Kota Nanking dalam tempo enam minggu.

Holocaust Enam Minggu

Sebelum jatuh ke tangan Jepang, Nanking atau Nanjing adalah ibukota kaum nasionalis yang diresmikan oleh Chiang Kay-shek pada 1928. Setelah tentara Jepang menundukkan Shanghai pada November 1937, tentara Jepang mulai merangsek menuju Nanking. Berbeda dengan Shanghai yang ditundukkan dengan susah payah, Nanking dapat ditaklukkan hanya dalam empat hari (pada 12 Desember 1937 malam).

Jatuhnya Kota Nanking ternyata menimbulkan dilema bagi tentara Jepang. Penaklukan dengan mudah kota ini menyisakan persoalan pelik: tawanan dengan jumlah ratusan ribu orang (melampaui berkali-lipat jumlah tentara Jepang sendiri). Pada masa perang, tawanan adalah beban, karena itu harus disingkirkan. Pangeran Asaka Yasuhiko, paman Kaisar Hirohito yang memimpin tentara Jepang di Nanking kemudian mengirim kawat perintah: “Rahasia, segera hancurkan”. Ada logika tak berperasaan dalam perintah ini. Para tawanan tak dapat diberi makan, sehingga mereka harus dilenyapkan. Di samping itu, membunuh mereka tak hanya mengeliminasi masalah pangan, tetapi juga mengurangi kemungkinan pemogokan dan pemberontakan.

Perintah ini dilaksanakan secara sistematis oleh balatentara Jepang. Puluhan ribu orang dibariskan di tepian sungai Yangtze, mereka dipenggal atau ditembak dengan senapan mesin. Seorang koresponden Jepang, Imai Masatake, menyaksikan adegan memilukan itu. Mayat-mayat yang berlumuran darah, ditimbun setinggi puluhan meter, menyerupai sebuah bukit. Tawanan yang masih hidup diperintahkan memindahkan satu per satu mayat ke tepian sungai. Mereka bekerja dalam diam, mengangkat mayat saudara sebangsa mereka sendiri, seperti pantomim. Setelah para tawanan itu menyelesaikan pekerjaannya, para serdadu Jepang menyuruh mereka berbaris di sepanjang tubir sungai. Dan... “Rat-tat-tat senapan mesin terdengar. Para kuli itu pun roboh dan tertelan arus sungai. Pertunjukan pantomim pun usai” (hlm. 57).

Tetapi, praktik membunuh dengan “cara biasa“ juga memiliki titik kebosanan. Sebab itu, metode baru yang lebih “menyenangkan” pun diterapkan: perlombaan memenggal kepala terbanyak! Seperti diberitakan oleh Japan Advertiser, dua letnan muda Jepang berlomba memenggal seratus kepala tawanan Cina. Kontes itu diberitakan dengan bersemangat, seolah-olah perlombaan menjadi pembunuh tercepat adalah hiburan.

Para perempuan, dari anak-anak hingga nenek-nenek, adalah tawanan yang paling mengenaskan. Tentara-tentara Jepang tidak sekadar memerkosa mereka, tetapi juga mengiris perut, memotong payudaranya, atau memakunya di dinding. Bahkan yang menyedihkan, para tentara memaksa bapak-bapak memerkosa anak mereka, atau anak-anak memerkosa ibu mereka.

Membaca The Rape of Nanking, kita memang dihadapkan pada potret horor perilaku manusia. Chang mencoba menjawab pertanyaan mengapa tentara Jepang begitu brutal dengan menelusuri jejak ideologi yang ditanamkan pada mereka. Jawabannya mengerucut pada etika bushido, yakni prinsip setia dan berani mati ala kesatia Jepang (samurai). Prinsip ini ditetapkan sebagai prinsip moral bagi seluruh warga negara, di samping prinsip mengabdi untuk sang kaisar. Prinsip inilah yang menggetarkan militer lawan karena tentara Jepang dikenal sebagai tentara berani mati (kamikaze).

Sebagaimana NAZI yang mengembangkan ideologi ras unggul, Jepang pun membangun ideologi sebagai ras super yang “ditakdirkan menguasai Asia”. Paham ini rupanya menistakan ras-ras lain untuk membangun rasa percaya diri bangsanya. Ada tiga tingkat pemahaman yang diutarakan oleh Chang berkaitan dengan hal ini. Menurutnya, etika bushido telah memosisikan kaisar sebagai satu-satunya manusia teristimewa, dan orang Jepang sebagai manusia unggul di bawahnya. Sedangkan orang Cina, yang menjadi pesaing dalam satu kawasan, dianggap sebagai bukan manusia. Pemahaman ini rupanya terpatri betul dalam benak tentara Jepang. Seorang tentara Jepang, Azuma Shiro menulis dalam diary-nya: “Sekarang seekor babi lebih berharga daripada nyawa seorang Cina. Itu karena babi dapat dimakan” (hlm. 267).

Tentara Jepang pun dilatih untuk terbiasa berbuat kejam. Membunuh dengan obyek tawanan yang masih hidup merupakan latihan biasa. Latihan membunuh ini merupakan metode untuk menghilangkan rasa takut dan kasihan (rasa kemanusiaan yang paling asasi). Dengan begitu, mereka diproyeksikan sebagai mesin pembunuh, sehingga kekejaman-kekejaman yang dilakukan tak lagi terasa “istimewa”, tetapi banal.

Banalitas kejahatan, meminjam konsep Hannah Arendt, berlangsung dengan pola instruksi yang tak dapat dibantah. Para pelakunya tak dapat menalar apakah perbuatan yang diperintahkan itu layak demi kemanusiaan atau tidak. Sebab, dalam kasus tragedi Nanking, para tentara memang dilatih untuk “mati rasa dan mati nalar”. Mereka melakukan kejahatan bukan karena mereka “monster”, melainkan karena dorongan dan perintah dari luar dirinya. Itulah salah satu manifestasi dari kekuasaan totaliter, yang mana kekuasaan dikendalikan memusat dengan pembenaran-pembenaran ideologis, seperti etika bushido dan ras unggul ala Jepang.

Kita dapat belajar dari tragedi Nangking. Upaya membongkar dan mengakui sejarah kelam merupakan salah satu cara mengambil hikmah dari masa lalu. Seperti ungkapan abadi filsuf George Santayana: “Mereka yang tidak dapat mengingat masa lalunya akan cenderung mengulanginya.” []

* Diterbitkan oleh Media Indonesia, 26 September 2009
_________________________
Judul               : The Rape of Nanking: Holocaust yang Terlupakan dari Sejarah Perang Dunia Kedua
Penulis            : Irish Chang
Penerjemah    : Febiola Reza Wijayani
Penerbit          : Narasi, Yogyakarta
Cetakan           : Pertama, 2009
Tebal                : xii + 404 halaman

Pram Menafsir Arok dan Saya (mencoba) Menafsirkannya Lagi

Lukman S.
Dulu sebetulnya saya sudah pernah membaca Arok Dedes-Pram. Tapi waktu itu memang masanya berbeda, intensinya juga berbeda, sehingga yang saya tangkap sekadar kepiawaian Pram bercerita secara memikat dengan –tentu saja- pemanfaatan sumber sejarah yang begitu kuat.
Dan, saat sekarang saya mencoba membaca lagi buku setebal 418 halaman itu, bukan lagi di Jogja, melainkan di Jakarta, dengan suasana yang berbeda, dan waktu luang yang sangat cukup untuk “kejar target”, ternyata impresi yang saya tangkap sungguh amat mengesankan.
Ya, pembacaan kedua atas sebuah teks niscaya bakal menghasilkan kesimpulan yang tak sama, setidaknya ada tambahan-tambahan simpulan baru yang tak kalah menakjubkannya dari pembacaan yang pertama. Mungkin, suasana dan tenggat waktu membaca (di mana ketika membaca teks yang pertama dan kedua ada asupan-asupan pengetahuan lain), dan faktor-faktor lain yang entah apa saja, cukup mempengaruhi cara kita memandang dan menilai sebuah teks.
Baiklah, tiga paragraf di atas sekadar ingin bilang bahwa pembacaan saya yang pertama pada Arok Dedes dulu, ketika masih kuliah, degan sekarang yang “kebetulan” sedang menganggur, menambah beberapa kesimpulan baru yang menurut saya penting untuk saya ulas.
Secara tak sengaja, di tempat penyewaan buku di dekat rumah, yang juga menjadi tempat saya menyewa Arok Dedes itu, saya menemukan buku proyek Depdikbud berjudul Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Singasari. Ya, betul-betul kebetulan, sebab secara tak sengaja saya mengalihkan pencarian ke rak cerita anak-anak dan menemukan buku setebal 24 halaman itu. Penyusun utamanya (juga ditulis di dalam kurung sebagai pemegang Hak Cipta) adalah Y. Achadiati S.
Maksud saya, melalui kebetulan ini, saya mendapat beberapa hal penguat bagi kesimpulan-kesimpulan saya mengenai cerita yang dikarang Pram. Sebab versi Achadiati adalah versi ilmiah dari seorang ahli sejarah kuno (juga arkeolog), sementara versi Pram adalah versi seorang sastrawan.
Saya tidak sedang ingin bilang bahwa Achadiati lebih ilmiah, atau lebih betul, sedangkan versi Pram lebih fiktif dan sudah tentu keliru. Alih-alih demikian, saya malahan ingin menunjukkan apa yang jarang dimanfaatkan oleh para ilmuan, yaitu imajinasi dan daya keratif penafsiran. Tentu saja, kaidah-kaidah ilmiah juga turut serta menutup kemungkinan penafsiran yang terlampau “kreatif”, maksudnya melebihi kesimpulan yang dapat diajukan dari data dan fakta yang ditemukan.
Achadiati bercerita tentang Arok dan wangsa Rajasa (raja-raja keturunan Arok) karena ia membaca babad Pararaton dan babad Kertanegara, juga prasasti-prasasti kuno. Karena alasan batasan obyektivitas dan kerangka metode ilmiah, maka ia tak bisa menggunakan kemampuan lain: imajinasi dan daya kreatif penafsiran. Oleh sebab itu, detail cerita yang mampu diulas sangat terbatas, sesuai dengan pengetahuan awam kita melalui cerita rakyat mengenai sosok Arok dan Dedes. Bahwa Arok adalah seorang bandit keturunan jelata (yang konon merupakan titisan Brahma), perampok dan penjudi yang kemudian mengabdi di Tumapel, dan karena menyaksikan (maaf) selangkangan Dedes mengeluarkan sinar pertanda perbawa, ia kemudian membunuh majikannya untuk mendapatkan Dedes.
Berbeda penafsiran yang dilakukan Pram, dan ini yang biasa dilakukan oleh para prosa-wan, yaitu (meminjam perkataan Umar Kayam) menciptakan dunia alternatif sendiri dalam cerita. Dan Pram (inilah kelihaian yang saya maksud) mampu menafsirkan cerita Arok yang berbau mitos menjadi mengada dalam konteks sosial politik pada jamannya.
Bercerita melalui prosa membuat Arok begitu hidup. Dan sebagai konsekuensinya, Arok sebagai seorang tokoh pembangkang diletakkan pada sebuah konteks sosial dan politik, juga percaturan agama, serta jalan cerita yang dibuat mengalir sesuai logika khas Pram: bahwa politik ditempuh dengan jalan yang rumit. Politik adalah bagaimana cara memperoleh dan memainkan kekuasaan. Tidak dengan cara mistis memesan keris sakti lalu menggunakannya untuk membunuh.
Perebutan tahta sebagai Akuwu Tumapel oleh Arok dari Tunggul Ametung tidak ditafsirkan oleh Pram sebagaimana cerita awam: melalui pembunuhan dengan keris buatan Empu Gandring. Kematian Empu Gandring, dalam cerita karangan Pram, hanya satu bagian saja, hanya titik puncak dari sebuah rencana pemberontakan yang disusun matang oleh seorang calon pemimpin berbakat yang didukung oleh kondisi sosial dan politik pada masanya. Sungguh tidak dapat dinalar jika Arok dengan begitu saja memesan keris sakti, lalu menusukkannya ke punggung Tunggul Ametung, kemudian berhasil meraih kekuasaan dengan mengawini si cantik Dedes.
Tidak. Bagi Pram, setiap pemberontakan dimulai dengan persiapan matang. Dan keris yang dipesan kepada Empu Gandring tidak dimaknai oleh Pram sebagai memesan keris, melainkan senjata. Gaman tidak dimaknai sebagai senjata yang sakti mandraguna, melainkan alat perang yang riil: senjata berjumlah ribuan untuk berperang melawan tentara Tumapel.
Ya, Arok memesan senjata tombak tangan, tombak panjang, dan pedang yang berjumlah ribuan untuk pasukannya. Itulah mengapa sebuah pemberontakan terhadap Tunggul Ametung, kemudian seterusnya kepada kekuasaan Kertajaya di Kediri dapat berhasil, dan mampu mendaulat Arok sebagai Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, raja pertama Kerajaan Singosari yang kelak menurunkan pula raja-raja masa Majapahit.

Agama dan Agamawan
Selain menyusun kekuatan tentara yang terpercaya dari kalangan masyarakat bawah, Arok juga memperoleh dukungan dari kaum agamawan, yakni kaum Brahmana yang notabene merupakan kasta tertinggi dalam agama Hindu. Lantas mengapa kaum Brahmana mendukung tokoh muda yang tak jelas asal usulnya ini? Bukankah dalam kepercayaan Hindu klasik di Jawa, kasta adalah suatu lingkaran yang sulit ditembus?
Menjawab ini, Pram secara khusus mengistilahkan Arok sebagai Satria yang berasal dari kaum Sudra, dan berhati Brahmana (itu karena pengetahuan keagamaannya telah mumpuni setelah berguru kepada Dang Hyang Lohgawe). Ya, dalam satu sosok pemimpin masa depan itu bersatu tiga representasi golongan, yang memungkinkan keberadannya diterima dan didukung oleh lingkungan sosial politik pada masanya.
Selain itu, kaum agamawan memiliki alasan khusus mengapa mendukung Arok. Arok adalah jawaban atas perjuangan bawah tanah kaum Brahmana yang selama ratusan tahun peranannya telah diminimalkan. Ya, sejak Sri Baginda Erlangga (pendiri Wangsa Isyana)  munggah tahta, hingga masa Kertajaya di Kediri pada masa Arok, pemujaan terhadap leluhur yang dianggap titisan dewa (diperdewakan) kian marak, sehingga mulai menggusur pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa (dewa tertinggi menurut kaum Brahmana). Selain pemujaan kepada leluhur, pemujaan terhadap Wisnu, dewa pujaan kaum tani dan para Satria, menggantikan pemujaan terhadap Siwa dan syaktinya (istri), Dewi Durga. Arca Erlangga dapat kita lihat sebagai titisan Wisnu berupa burung Garuda (saat ini digunakan sebagai lambang UNAIR). Arca ini konon dahulu juga disembah oleh keturunan dan rakyatnya sebagai dewa.
Kaum Brahmana melihat pergeseran kepercayaan ini sebagai “pemurtadan” dari ajaran Hindu, sehingga harus diluruskan. Dan pelurusan ajaran tak dapat tidak harus dengan merebut kekuasaan. Nah, di sinilah agama dan agamawan tidak berdiri di dalam ruang kedap suara. Agama dan agmawan adalah pendukung dan pembangkang langsung dalam kancah politik.
Selain agama dalam kancah politik, cerita Arok Dedes juga menyajikan sesuatu yang menyadarkan saya betapa kesimpulan ilmiah kadang menggelapkan mata kita tentang sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Maksud saya, ini soal kerukunan agama yang oleh para ahli sejarah kuno, juga arkeolog, ketika menafsirkan prasasti-prasasti serta menafsirkan keberadaan dan posisi candi-candi baik Hindu, Buddha, atau antara pemuja Siwa dan Wisnu yang saling bersinggungan dan berdekatan dianggap sebagai representasi kerukunan antar-agama. Kita lupa, dan mungkin tak pernah terbersit lagi dalam pikiran kita, bahwa permusuhan antar-agama, atau antar sekte di dalam satu agama juga sangat mungkin terjadi pada masa lalu.
Ini kesimpulan kreatif yang (sejauh ini) tidak saya peroleh dari analisis ilmiah. Pram menunjukkan, bahwa antara Buddha dan Hindu, bahkan antara penganut Siwa dan Wisnu di dalam satu agama Hindu sendiri terjadi pertentangan yang sangat serius. Tunggul Ametung dan Kertajaya (Raja kediri) menganut Hindu, tetapi aliran Wisnuisme. Sementara Arok dan kaum Brahmana yang mendukungnya bermaksud ingin mengembalikan kejayaan Siwaisme.
Ya, sejak agama-agama belum sampai di Nusantara, setiap suku hampir pasti mengembangkan kepercayaan lokal masing-masing. Dan setelah agama-agama datang (meminjam istilah Achadiyati), kebudayaan yang makin halus mulai muncul. Begitu juga tatanan sosial makin mantap, dengan garis demarkasi yang jelas dengan kebudayaan sebelumnya: agama membedakan antara manusia beradab dan tidak.
Tetapi melalui cerita-cerita yang dirajut Pram kita tahu, agama-agama juga berkait-kelindan dengan politik: agama turut serta dalam mengukuhkan kekuasaan atau menolaknya.
Di sini nampak apa yang terakhir ingin saya sampaikan : bahwa mengarang ala Pram, adalah menafsirkan sejarah untuk kepentingan bangsanya. Proses kepengarangan tidak dilakukan sesuka hati: mengarang untuk kepuasan pengarang. Mengarang adalah kerja literer untuk membangun jiwa bangsanya. []