Pram Menafsir Arok dan Saya (mencoba) Menafsirkannya Lagi

Lukman S.
Dulu sebetulnya saya sudah pernah membaca Arok Dedes-Pram. Tapi waktu itu memang masanya berbeda, intensinya juga berbeda, sehingga yang saya tangkap sekadar kepiawaian Pram bercerita secara memikat dengan –tentu saja- pemanfaatan sumber sejarah yang begitu kuat.
Dan, saat sekarang saya mencoba membaca lagi buku setebal 418 halaman itu, bukan lagi di Jogja, melainkan di Jakarta, dengan suasana yang berbeda, dan waktu luang yang sangat cukup untuk “kejar target”, ternyata impresi yang saya tangkap sungguh amat mengesankan.
Ya, pembacaan kedua atas sebuah teks niscaya bakal menghasilkan kesimpulan yang tak sama, setidaknya ada tambahan-tambahan simpulan baru yang tak kalah menakjubkannya dari pembacaan yang pertama. Mungkin, suasana dan tenggat waktu membaca (di mana ketika membaca teks yang pertama dan kedua ada asupan-asupan pengetahuan lain), dan faktor-faktor lain yang entah apa saja, cukup mempengaruhi cara kita memandang dan menilai sebuah teks.
Baiklah, tiga paragraf di atas sekadar ingin bilang bahwa pembacaan saya yang pertama pada Arok Dedes dulu, ketika masih kuliah, degan sekarang yang “kebetulan” sedang menganggur, menambah beberapa kesimpulan baru yang menurut saya penting untuk saya ulas.
Secara tak sengaja, di tempat penyewaan buku di dekat rumah, yang juga menjadi tempat saya menyewa Arok Dedes itu, saya menemukan buku proyek Depdikbud berjudul Seri Penerbitan Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Singasari. Ya, betul-betul kebetulan, sebab secara tak sengaja saya mengalihkan pencarian ke rak cerita anak-anak dan menemukan buku setebal 24 halaman itu. Penyusun utamanya (juga ditulis di dalam kurung sebagai pemegang Hak Cipta) adalah Y. Achadiati S.
Maksud saya, melalui kebetulan ini, saya mendapat beberapa hal penguat bagi kesimpulan-kesimpulan saya mengenai cerita yang dikarang Pram. Sebab versi Achadiati adalah versi ilmiah dari seorang ahli sejarah kuno (juga arkeolog), sementara versi Pram adalah versi seorang sastrawan.
Saya tidak sedang ingin bilang bahwa Achadiati lebih ilmiah, atau lebih betul, sedangkan versi Pram lebih fiktif dan sudah tentu keliru. Alih-alih demikian, saya malahan ingin menunjukkan apa yang jarang dimanfaatkan oleh para ilmuan, yaitu imajinasi dan daya keratif penafsiran. Tentu saja, kaidah-kaidah ilmiah juga turut serta menutup kemungkinan penafsiran yang terlampau “kreatif”, maksudnya melebihi kesimpulan yang dapat diajukan dari data dan fakta yang ditemukan.
Achadiati bercerita tentang Arok dan wangsa Rajasa (raja-raja keturunan Arok) karena ia membaca babad Pararaton dan babad Kertanegara, juga prasasti-prasasti kuno. Karena alasan batasan obyektivitas dan kerangka metode ilmiah, maka ia tak bisa menggunakan kemampuan lain: imajinasi dan daya kreatif penafsiran. Oleh sebab itu, detail cerita yang mampu diulas sangat terbatas, sesuai dengan pengetahuan awam kita melalui cerita rakyat mengenai sosok Arok dan Dedes. Bahwa Arok adalah seorang bandit keturunan jelata (yang konon merupakan titisan Brahma), perampok dan penjudi yang kemudian mengabdi di Tumapel, dan karena menyaksikan (maaf) selangkangan Dedes mengeluarkan sinar pertanda perbawa, ia kemudian membunuh majikannya untuk mendapatkan Dedes.
Berbeda penafsiran yang dilakukan Pram, dan ini yang biasa dilakukan oleh para prosa-wan, yaitu (meminjam perkataan Umar Kayam) menciptakan dunia alternatif sendiri dalam cerita. Dan Pram (inilah kelihaian yang saya maksud) mampu menafsirkan cerita Arok yang berbau mitos menjadi mengada dalam konteks sosial politik pada jamannya.
Bercerita melalui prosa membuat Arok begitu hidup. Dan sebagai konsekuensinya, Arok sebagai seorang tokoh pembangkang diletakkan pada sebuah konteks sosial dan politik, juga percaturan agama, serta jalan cerita yang dibuat mengalir sesuai logika khas Pram: bahwa politik ditempuh dengan jalan yang rumit. Politik adalah bagaimana cara memperoleh dan memainkan kekuasaan. Tidak dengan cara mistis memesan keris sakti lalu menggunakannya untuk membunuh.
Perebutan tahta sebagai Akuwu Tumapel oleh Arok dari Tunggul Ametung tidak ditafsirkan oleh Pram sebagaimana cerita awam: melalui pembunuhan dengan keris buatan Empu Gandring. Kematian Empu Gandring, dalam cerita karangan Pram, hanya satu bagian saja, hanya titik puncak dari sebuah rencana pemberontakan yang disusun matang oleh seorang calon pemimpin berbakat yang didukung oleh kondisi sosial dan politik pada masanya. Sungguh tidak dapat dinalar jika Arok dengan begitu saja memesan keris sakti, lalu menusukkannya ke punggung Tunggul Ametung, kemudian berhasil meraih kekuasaan dengan mengawini si cantik Dedes.
Tidak. Bagi Pram, setiap pemberontakan dimulai dengan persiapan matang. Dan keris yang dipesan kepada Empu Gandring tidak dimaknai oleh Pram sebagai memesan keris, melainkan senjata. Gaman tidak dimaknai sebagai senjata yang sakti mandraguna, melainkan alat perang yang riil: senjata berjumlah ribuan untuk berperang melawan tentara Tumapel.
Ya, Arok memesan senjata tombak tangan, tombak panjang, dan pedang yang berjumlah ribuan untuk pasukannya. Itulah mengapa sebuah pemberontakan terhadap Tunggul Ametung, kemudian seterusnya kepada kekuasaan Kertajaya di Kediri dapat berhasil, dan mampu mendaulat Arok sebagai Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi, raja pertama Kerajaan Singosari yang kelak menurunkan pula raja-raja masa Majapahit.

Agama dan Agamawan
Selain menyusun kekuatan tentara yang terpercaya dari kalangan masyarakat bawah, Arok juga memperoleh dukungan dari kaum agamawan, yakni kaum Brahmana yang notabene merupakan kasta tertinggi dalam agama Hindu. Lantas mengapa kaum Brahmana mendukung tokoh muda yang tak jelas asal usulnya ini? Bukankah dalam kepercayaan Hindu klasik di Jawa, kasta adalah suatu lingkaran yang sulit ditembus?
Menjawab ini, Pram secara khusus mengistilahkan Arok sebagai Satria yang berasal dari kaum Sudra, dan berhati Brahmana (itu karena pengetahuan keagamaannya telah mumpuni setelah berguru kepada Dang Hyang Lohgawe). Ya, dalam satu sosok pemimpin masa depan itu bersatu tiga representasi golongan, yang memungkinkan keberadannya diterima dan didukung oleh lingkungan sosial politik pada masanya.
Selain itu, kaum agamawan memiliki alasan khusus mengapa mendukung Arok. Arok adalah jawaban atas perjuangan bawah tanah kaum Brahmana yang selama ratusan tahun peranannya telah diminimalkan. Ya, sejak Sri Baginda Erlangga (pendiri Wangsa Isyana)  munggah tahta, hingga masa Kertajaya di Kediri pada masa Arok, pemujaan terhadap leluhur yang dianggap titisan dewa (diperdewakan) kian marak, sehingga mulai menggusur pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa (dewa tertinggi menurut kaum Brahmana). Selain pemujaan kepada leluhur, pemujaan terhadap Wisnu, dewa pujaan kaum tani dan para Satria, menggantikan pemujaan terhadap Siwa dan syaktinya (istri), Dewi Durga. Arca Erlangga dapat kita lihat sebagai titisan Wisnu berupa burung Garuda (saat ini digunakan sebagai lambang UNAIR). Arca ini konon dahulu juga disembah oleh keturunan dan rakyatnya sebagai dewa.
Kaum Brahmana melihat pergeseran kepercayaan ini sebagai “pemurtadan” dari ajaran Hindu, sehingga harus diluruskan. Dan pelurusan ajaran tak dapat tidak harus dengan merebut kekuasaan. Nah, di sinilah agama dan agamawan tidak berdiri di dalam ruang kedap suara. Agama dan agmawan adalah pendukung dan pembangkang langsung dalam kancah politik.
Selain agama dalam kancah politik, cerita Arok Dedes juga menyajikan sesuatu yang menyadarkan saya betapa kesimpulan ilmiah kadang menggelapkan mata kita tentang sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Maksud saya, ini soal kerukunan agama yang oleh para ahli sejarah kuno, juga arkeolog, ketika menafsirkan prasasti-prasasti serta menafsirkan keberadaan dan posisi candi-candi baik Hindu, Buddha, atau antara pemuja Siwa dan Wisnu yang saling bersinggungan dan berdekatan dianggap sebagai representasi kerukunan antar-agama. Kita lupa, dan mungkin tak pernah terbersit lagi dalam pikiran kita, bahwa permusuhan antar-agama, atau antar sekte di dalam satu agama juga sangat mungkin terjadi pada masa lalu.
Ini kesimpulan kreatif yang (sejauh ini) tidak saya peroleh dari analisis ilmiah. Pram menunjukkan, bahwa antara Buddha dan Hindu, bahkan antara penganut Siwa dan Wisnu di dalam satu agama Hindu sendiri terjadi pertentangan yang sangat serius. Tunggul Ametung dan Kertajaya (Raja kediri) menganut Hindu, tetapi aliran Wisnuisme. Sementara Arok dan kaum Brahmana yang mendukungnya bermaksud ingin mengembalikan kejayaan Siwaisme.
Ya, sejak agama-agama belum sampai di Nusantara, setiap suku hampir pasti mengembangkan kepercayaan lokal masing-masing. Dan setelah agama-agama datang (meminjam istilah Achadiyati), kebudayaan yang makin halus mulai muncul. Begitu juga tatanan sosial makin mantap, dengan garis demarkasi yang jelas dengan kebudayaan sebelumnya: agama membedakan antara manusia beradab dan tidak.
Tetapi melalui cerita-cerita yang dirajut Pram kita tahu, agama-agama juga berkait-kelindan dengan politik: agama turut serta dalam mengukuhkan kekuasaan atau menolaknya.
Di sini nampak apa yang terakhir ingin saya sampaikan : bahwa mengarang ala Pram, adalah menafsirkan sejarah untuk kepentingan bangsanya. Proses kepengarangan tidak dilakukan sesuka hati: mengarang untuk kepuasan pengarang. Mengarang adalah kerja literer untuk membangun jiwa bangsanya. []

0 komentar:

Posting Komentar