Tukang Becak : Yang Bebas dan Yang Terpaksa Memilih

Lukman S. 

Pertengahan Februari lalu kami liburan ke Jogja. Sampai di Stasiun Tugu, kami sengaja tidak memilih taksi untuk pergi ke hotel, melainkan mencoba bernostalgia dengan menumpang becak. Si Chiya, anak kami, girang bukan main karena setelah sekian lama, baru kali itu dia merasakan kembali pengalaman naik becak. Dulu waktu kami masih bermukim di Jogja, di akhir pekan, sering kami menyewa becak mini yang disewakan di Alun-Alun Kidul. Rasanya asyik berkeliling alun-alun dengan becak mini itu.

Belum lama ini, teman saya berkesempatan pergi ke New York dalam rangka memenuhi tanggungan kerjanya. Dia sempat berfoto saat naik becak di sana. Saya akhirnya tahu, di New York ada becak (pedicab) juga. Lalu kira-kira, apa bedanya ya para penarik becak di New York dengan di Indonesia?

Kalau merujuk kepada peribahasa mungkin salah satu jawabannya adalah TEMPAT. Katanya: Lain Ladang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya. Meskipun profesinya sama, tetapi karena berada dan dilakukan di tempat yang berbeda, maka berbeda pula nilanya, berbeda pula cara kita melihatnya.

Frankie Legarreta. Sumber: http://www.voaindonesian.com
Mari kita bandingkan cerita “bosan jadi pegawai” sebagaimana judul acara di salah satu televisi di Indonesia ini. Seorang pekerja kantoran merasa bosan bekerja di dalam ruangan berpenyejuk udara, dibatasi geraknya oleh ruang, dan tak memiliki banyak waktu luang. Membosankan. Ia lalu membebaskan diri dengan cara yang menurut sebagian besar rakyat Indonesia tidak lazim: menjadi tukang becak.

Tapi tunggu dulu. Ini adalah pilihan yang dilakukan oleh Frankie Legarreta, seorang warga Manhattan yang telah mengayuh becak selama enam tahun ini di seputar Central Park, New York. Pilihan pekerjaannya cukup unik, terkesan “out of the box”, sehingga  ia layak diberitakan oleh VOA dengan tajuk “Kisah Seorang Penarik Becak di Kota New York” (3 April 2012).

Tentu saja, ini bukan keputusan tergesa karena tanpa pilihan seperti dilakukan oleh banyak penarik becak di negeri ini, sebut saja Kastini (seorang Ibu penarik becak di kd ota Tuban), atau Mbah Pon atau Ponirah (ibu penarik becak di Bantul, Yogyakarta), Dewi Rapika (ibu penarik becak motor di Medan), atau bahkan Suharto (mantan atlet balap sepeda yang pernah menyumbangkan medali emas pada SEA Games 1979 yang juga membecak).

Pekerjaan Frankie menjadi menarik karena profesi yang dilakukannya dianggap “lain” tapi dalam makna yang positif. Pekerjaan ini bukan profesi seperti sopir taksi yang mengendari kendaraan beroda empat dengan ruangan tertutup dan berpenyejuk udara seperti banyak berseliweran di pusat keramaian di New York. Pekerjaan ini menguras tenaga, keringat, dan semangat untuk menembus kebuntuan dan kemacetan kota New York dengan cara yang mengasyikkan.

Frankie merasa bahwa inilah pilihan yang tepat untuk dirinya: kebahagiaan yang didapat dengan cara berolahraga, memperoleh imbalan, bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang, dan berbagi cerita tentang New York kepada para wisatawan yang menggunakan jasanya. Ia mampu memilih dan lalu melakukan apa yang ingin dilakukannya. Ia menikmati pekerjaan itu karena itulah yang diinginkannya.

Tidak demikian dengan Kastini, Mbah Pon, Dewi Rapika, atau Suharto. Mereka semua menarik becak karena keterpaksaan: pilihan yang dilakukan karena tak ada pilihan lain. Misalnya saja Kastini (45 th), ibu dari 7 anak, dan sudah lebih dari 15 tahun mengayuh becak untuk memperoleh nafkah. Ia kerap kali mangkal di Terminal Wisata Makam Sunan Bonang, Tuban (http://metrotvnews.com).

Mbah Ponirah. Sumber: http://rezco.wordpress.com
Pun demikian dengan Mbah Pon atau Ponirah (57 th) yang sudah lebih 22 tahun menarik becak di daerah Bantul, Yogyakarta. Perempuan yang satu ini dianggap sebagai “Perempuan Perkasa”, pernah menjadi bintang iklan minuman berenergi yang juga dibintangi almarhum Mbah Maridjan, dan tetap bertahan bahkan bangkit dari musibah gempa bumi yang merontokkan rumah dan memusnahkan ternak bebeknya (http://rezco.wordpress.com).

Agak berbeda dengan Kastini dan Mbah Pon, Dewi Rapika tidak mengayuh pedal becak, melainkan menggunakan becak motor (bentor/bemor) (http://berita.liputan6.com). Becak jenis ini memang salah satu kendaraan khas di Medan. Tidak perlu mengayuh dengan capek, atau mendorong becak saat tanjakan, cukup menginjak persneling dan memutar gas. Wuzzz... becak bisa meluncur kencang.

Tiga perempuan yang saya sebut tadi melakoni pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap tidak lumrah: pekerjaan “kasar” dan “berat” yang biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan bukan hanya dianggap tidak wajar apabila berprofesi di bidang ini, tetapi bahkan dalam beberapa kondisi dianggap sebagai aib. Tetapi negeri ini memang tak memberikan banyak pilihan. Pendidikan yang rendah, keterampilan yang terbatas, serta sumberdaya ekonomi yang lemah, tak mampu mengangkat harkat masyarakatnya. Apalagi untuk perempuan.

Bahkan untuk beberapa waktu dalam proses adaptasi mereka, para perempuan ini mengalami penghinaan baik nampak maupun tidak. Tapi manisnya, akhirnya mereka memperoleh penerimaan, bahkan dianggap sebagai “pahlawan” karena mampu mendobrak asumsi dan persepsi negatif di lingkungannya.

Begitu pula Suharto. Mantan atlet balap sepeda yang mengandalkan kekuatan kayuhan paha-betis-kaki ini akhirnya hanya mampu memanfaatkan potensinya itu, tidak sebagai pelatih, melainkan pengayuh becak. Hidup nomaden dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain, dan lalu harus istirahat total dari pekerjaannya karena menderita hernia. (http://www.smartnewz.info).

Perbandingan dalam pepatah “lain ladang lain belalang” juga muncul dan ramai dibicarakan pada awal tahun ini: tukang sampah dari inggris menjajal pekerjaan tukang sampah di Jakarta. Dalam sebuah tayangan bertajuk “Toughest Place to be a Binman” (Tempat Tersulit untuk Menjadi Tukang Sampah) yang disiarkan oleh BBC London telah menarik perhatian masyarakat Indonesia, terutama yang bermukim di Inggris. Ada yang berkomentar, ini contoh yang “memalukan” bagi para pejabat di Jakarta. Tapi tak jarang juga yang merasa terharu.

Wilbur dan Imam. Sumber: http://www.bbc.co.uk
Tersebutlah Wilbur Ramirez yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sampah di Inggris menjajal pekerjaan sejawatnya, Imam yang menjadi tukang sampah di Jakarta. Selama 10 hari Wilbur mengikuti kegiatan sehari-hari Imam, bahkan beberapa kali mencoba menggantikan pekerjaan Imam. Hasilnya, Wilbur tak kuasa menahan haru. Bagaimana mungkin Imam mampu mengerjakan pekerjaan semaha-berat itu: berkeliling menarik gerobak dengan tubuhnya dari rumah ke rumah, dibayar dengan gaji rendah, dan tanpa jaminan kesehatan? (http://oase.kompas.com

Hidup seperti Sisifus

Cerita tentang tukang becak dan tukang sampah ini menyadarkan saya bahwa hidup memang tak selalu menyediakan pilihan. Atau mungkin lebih tepatnya, hidup tak menyediakan pilihan yang sama bagi setiap orang. Seseorang, karena dilahirkan dan hidup di suatu tempat, dapat lebih berdaya untuk memilih kehidupan yang diinginkannya. Sementara sebagian yang lain tak berdaya dengan pilihan-pilihan terbatas yang ditawarkan.

Menjadi apapun kita, bekerja di bidang apapun kita, bagi saya, selalu saja kita seperti sisifus yang “dikutuk” Dewa untuk selalu menggotong batu ke atas bukit, kemudian menjatuhkannya kembali. Sisifus melakukannya berkali-kali, dan kita menyaksikan itu sebagai “kutukan” yang paling menyakitkan: Dewa menghukum Sisifus dengan keterbatasan pilihan.

Tapi Albert Camus dalam Mite Sisifus melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Mungkin bagi sebagian dari kita, Sisifus nampak sangat tersiksa dengan pekerjaan yang sia-sia itu, pekerjaan yang absurd. Tetapi bagi Camus, Sisifus sebetulnya bahagia. Ia melakukan konsekuensi yang telah ia pilih: menentang para dewa meskipun diganjar hukuman yang paling muskil. 

Perjuangan yang yang dilakukan oleh Sisifus itu sendiri, untuk mengangkat bongkahan batu ke atas bukit meskipun ketika di puncak ia jatuhkan lagi, sudah cukup untuk mengisi hati kita bahwa begitulah makna perjuangan hidup. Bukankah dengan tetap bertahan dan berjuang mempertahankan hidup jauh lebih mulia daripada bunuh diri?

Hari ini kita menyaksikan banyak orang telah menjelma “Sisifus Jam 7 Pagi” sebagaimana sajak Ook Nugroho. Mereka berangkat pagi-pagi, memenuhi panggilan para “Dewa” yang telah menjelma menjadi bos-bos berdasi. Mereka mungkin tak nampak menggotong bongkahan batu, tetapi wajah kusut dan kuyu tak mampu menyembunyikan bongkahan masalah yang mereka bawa, bahkan hingga larut malam menjadi pekerjaan rumah. Mereka seolah terbelenggu. Seperti kata Ook Nugroho dalam sajaknya: “Sampai tua. Sampai lupa buat apa ini semua” (Ook Nugroho, dalam http://syairsyiar.blogspot.com).

Kalau boleh mengamini Camus, mungkin memang sebaiknya kita tak melulu melihat Kastini, Mbah Pon, Dewi Rapika, atau Suharto sebagai Sisifus yang (hanya) tersiksa jika kita membandingkannya dengan kisah Frankie Legarreta atau Wilbur Ramirez. Adakalanya mereka memang menggotong batu masalah yang maha berat, tetapi dari perjuangannya itu kita tahu: mereka sedang berjuang mengisi hidup. Tidak dengan berdiam diri atau mengulurkan tangan di perempatan jalan, melainkan dengan bekerja. Begitulah mungkin sebaiknya kita memaknainya. Meskipun itu tidak berarti kita bersepakat atau mengamini keadaan yang ada.[]

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Selamat ya bro,blog menarik ini dah juara di voa

Posting Komentar