ULID dan Cita-Cita yang Tak Sampai


Sudah hampir tiga bulan ini saya tak menyentuh roman. Setelah terakhir hanya mampu menghabiskan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas-nya Eka Kurniawan, saya belum lagi sempat menyentuh roman-roman lainnya. Di awal tahun ini, pilihan bacaan saya jatuhkan pada Ulid Tak Ingin ke Malaysia. Kebetulan, novel ini yang ada di Jogja, sementara lainnya masih di Jakarta. Catatan ini tentu sangat terlambat, mengingat novelnya terbit di tahun 2010. Tapi bodo amat. Hehe...

Secara pribadi saya kenal penulisnya, kakak angkatan dulu ketika di Pers Mahasiswa UGM. Saya baru dapat menyempatkan membaca novel ini, padahal sebelumnya saya sudah menghatamkan karya kedua dari penulis yang sama, judulnya Kambing dan Hujan, yang mendapat penghargaan Dewan Kesenian Jakarta. 

Kesan saya, dari dua novel yang saya baca, penulis dua roman ini, Mahfud Ikhwan namanya, berkeras menghadirkan desa sebagai latar (setting) utama cerita. Bagi saya, yang pernah gandrung dengan roman karya Kuntowijoyo, Umar Kayam, Ahmad Tohari, atau Romo Mangunwijaya, seperti menemukan kembali setting cerita yang pernah saya sukai itu. Kampung, desa, udik, seperti menghadirkan nostalgia, di mana petak-petak sawah, ladang, bukti dan gunung, dan orang-orang kampung yang sederhana hadir dengan utuh dengan gaya tutur yang enak dibaca.

Tetapi ini bukan sekadar soal nostalgia, di mana saya kebetulan juga berasal dari kampung, pernah bersentuhan dengan dunia pesantren dan sebagainya, seperti digambarkan dalam cerita karangan Mahfud ini. Lebih dari itu, Kambing dan Hujan, dan terutama Ulid Tak Ingin ke Malaysia, bagi saya yang awam mengenai perkembangan sastra ini, merasa ada ruang kosong yang coba diisi oleh karya-karya macam ini. Setting desa, kampung, menjadi penting karena tak banyak pengarang, terutama penulis-penulis kekinian, mencoba menceburkan diri dengan menulis cerita berlatar udik ini. 

Hal ini boleh jadi karena dua hal. Pertama, penulisnya tak lagi punya keterkaitan langsung dengan dunia kampung: dia adalah orang kota, atau anak perantau yang besar di kota. Kedua, penulisnya sangat boleh jadi merasa lebih yakin pembacanya adalah mereka yang berminat dengan isu-isu kekinian yang kemudian disederhanakan sebagai isu orang kota, modernitas, dunia konsumsi, pendek kata yang populer saat ini. Meski dia berasal dari desa, penulisnya tak yakin untuk menulis kehidupan desanya, sebab pembaca mungkin tak suka dengan itu.

Saya sendiri melihat hal kedua cukup banyak berperan dalam membentuk karya-karya yang terbit di warsa ini. Itu bisa diringkus sebagai “selera pasar”. Dan tak banyak yang berupaya keluar dari “selera pasar” itu, karena tantangannya jelas: tidak laku! Maka jika anggapan ini benar, dapat dikatakan bahwa pembaca lebih suka membaca cerita tentang orang kota, atau bahkan cerita tentang orang Indonesia dengan latar di luar negeri. Pembaca sekarang (terkesan atau dikesankan) lebih suka membaca cerita dengan tema dan setting kekinian itu.

Jika diselisik lebih jauh, menurut saya, tentu ini ada kaitannya dengan perkembangan masyarakat yang kian mengkota, makin modern. Orientasi, gaya hidup, dan segala hal tentang kota adalah hidup sehari-hari masyarakat sekarang. Masyarakat kampung, seudik apapun hidupnya, jika masih mampu menyalakan televisi atau sesekali menumpang menontonnya di rumah tetangga, sedikit banyak mengalami pendaran kehidupan kota melalui berita dan terutama sinetron. Teknologi siar ini kemudian “mendekatkan” cerita tentang kehidupan kota itu di kesadaran mereka.

Belum lagi jika membayangkan remaja dan generasi muda yang bersekolah dengan kurikulum Jakarta, serta pergaulan yang tak jauh dari televisi, cara mengobrol dan bertukar guyon ala ibu kota, serta sedikit bacaan tentang kisah-kisah cinta yang meye-meye, maka tentu tak ada tempat bagi mereka untuk membaca novel-novel dengan latar desa ini. Ngapain membaca cerita yang sehari-hari mereka temukan sebagai kebiasaan? Ladang, sawah, sungai, kebun, masalah kemelaratan, dan sebagainya, tak perlu mereka baca, sebab mereka sendiri mengalaminya. Itu jika anak kampung. Sebaliknya, jika anak kota, maka kehidupan desa adalah kehidupan bapak-ibu atau kakek nenek mereka yang terkesan jauh, tidak kekinian, tidak dialami langsung sehingga tak penting bagi mereka, dan itu cukup mereka lihat dan dengar ketika mereka mudik lebaran atau sedang liburan.

Maka tak ada tempat untuk cerita seperti karangan Mahfud ini di hati mereka.

Tapi beruntung Mahfud menang Sayembara Dewan Kesenian Jakarta, sehingga Kambing dan Hujan, menjadi perbincangan, diliput dan dibedah di mana-mana. Ada saja anak SMA atau mahasiswa yang membaca, membicarakan, mendiskusikan, atau memuji-mujinya. Mereka turut dalam lalu-lintas tren penerbitan: novel apa saja yang sedang in, maka mereka akan turut membacanya. Tapi, lebih dari itu, saya kira tak ada. Mereka mungkin akan kembali kepada bacaan yang kekinian tadi—sebab utamanya tak banyak novel (apalagi yang ditulis dengan cara bagus) yang terbit dengan latar cerita desa tadi.

Sayangnya, kepopuleran Kambing dan hujan tak terjadi pada novel pertama Mahfud, Ulid Tak Ingin ke Malaysia. Menurut saya, melihat covernya saja pembaca enggan menjamahnya. Gambar perempuan murung dengan tas koper besar di depannya, dengan jilbab kuning model ibu-ibu pengajian, tentu bukan cover novel yang baik. Ada sederet kesalahan di bagian sampul buku ini yang tak termaafkan. Salah satunya yang penting, sampul itu sama sekali tak menggambarkan, atau hanya menggambarkan sebagian saja tetapi tidak tepat, atas cerita yang sebetulnya menarik. Ketika mertua saya pertama melihat buku ini, dia bilang, ini buku tentang TKI? Saya jawab, iya. Memang betul ini novel yang bercerita tentang TKI, tapi hanya sebagian saja soal itu.

Dari sampulnya, novel ini gagal, terutama karena pada judulnya tertulis ‘Ulid’, tetapi gambarnya perempuan berkerudung. Coba judulnya Kaswati, ibunya Ulid, mungkin lebih pas. Alih-alih tampil kenes, sampul buku ini seperti mengiba-iba. Belum lagi ketika membalik sampulnya, di bagian belakang, tak ada satupun kalimat pemantik yang lugas dan bernas untuk menggambarkan keistimewaan novel ini. Sepertinya editor alpa untuk menyejajarkannya dengan karya-karya Ahmad Tohari atau Umar Kayam, misalnya, perihal tekanan cerita pada novel ini yang mengangkat masalah perubahan sosial di sebuah kampung. Akhirnya, secara tampilan, novel ini tak mampu menjadi karya Andrea Hirata (dan memang mungkin tak dimaksudkan demikian), lantas juga gagal menggambarkan dirinya sebagai novel yang serius, yang tak meye-meye, yang menggambarkan perubahan sosial dengan tegas di dalam cerita. Tapi sudahlah, kabarnya nanti akan diterbitkan ulang, kok, dengan tampilan yang lebih layak. Semoga.

Novel Ulid ini, akhirnya harus dipahami sebagai novel dengan sasaran pembaca dengan minat khusus. Bagi saya yang mantan mahasiswa antropologi, misalnya, merasa tak lengkap jika mengikuti mata kuliah Antropologi Perdesaan tanpa membaca dan mendiskusikan buku ini. Desa adalah entitas yang terhubung dengan jejaring nasional dan global. Maka perubahan sosial sebuah desa, tak dapat dijelaskan dengan lengkap tanpa melihat hubungannya dengan hal-hal di luar dirinya.


Tawakkal, Usaha, Hijrah, Lalu Tawakkal Lagi

Desa Lerok adalah desa yang dikenal oleh tiga hal: pohon jati, batu gamping, dan bengkuang. Tak ada anak lerok yang tak mengenal tiga hal itu: ketakutan terhadap sinder atau mandor hutan yang selalu memeriksa penduduk desa karena dianggap selalu mencuri pohon jati, proses membakar gamping di jubung dan tak boleh mengencingi batu gamping karena nanti tak bisa kencing, juga panen bengkuang yang selalu semarak.

Ulid, yang menjadi tokoh utama, digambarkan sebagai anak lelaki yang punya rasa segala ingin tahu, kerap kali dengan cara memaksa, dan sering kali berkelakuan bandel. Tapi begitulah tipikal anak cerdas.

Di bagian-bagian awal cerita, kehidupan Lerok seolah tak terjamah perubahan: dari zaman buyut dan kakek nenek mereka, begitulah adanya. Tak bertambah makmur dan hanya sesekali menikmati hasil, terutama ketika jubung menghasilkan gamping yang lumayan, ditambah lagi panen bengkuang yang juga lumayan.

Bagi penduduk Lerok, pada masa itu, ayat Tuhan yang paling diingat adalah perihal tawakkal alias berserah diri. Sementara ayat yang membahas soal perubahan nasib yang bisa diupayakan dengan usaha, sebagaimana janji Tuhan untuk mengubah nasib suatu kaum, lebih banyak tenggelam karena pada kenyataannya, sekuat apa mereka berpeluh, hasilnya tak banyak. Dan Tuhan, sebagaimana diyakini oleh umatnya, selalu memiliki jawaban, salah satunya melalui tawakkal tadi. Jika tak menemukan “kebenaran” di satu ayat, atau lebih tepatnya susah membuktikan kebenaran ayat itu, maka beralihlah kepada ayat yang lain. Bukankah sudah cukup penduduk Lerok berusaha dengan membakar gamping dan bertani bengkuang? Jika hasilnya begitu-begitu saja, ya sudah, tawakkal.

Tapi kehidupan yang semenjana itu tak berlangsung lama. Ketika harga gamping jatuh ke titik nadir dan hasil bengkuang harus bersaing dengan bengkuang lain yang lebih murah, terkaparlah perekonomian orang Lerok. Maka entah dari mana asalnya, satu dua orang kemudian berangkat ke Malaysia. Sebagian kembali sebagai orang gagal, sementara sebagian yang lain seperti menyadarkan ada ayat Tuhan yang lain yang seharusnya mereka juga yakini: hijrah dan usaha. Ya, hijrah dapat dimaknai sebagai laku fisik sabagi merantau. Dan merantau adalah alternatif terbaik sebagai ejawantah dari usaha untuk mengubah nasib. Bukankah sudah jelas bahwa Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum jika kaum itu hanya diam saja? Maka jika hanya tawakkal, mereka tak dapat meningkatkan taraf hidup mereka.

Maka berangkatlah satu satu orang Lerok ke Malaysia. Laku merantau, uang ringgit, tape deck, slowrock melayu, rumah-rumah baru, sepeda, televisi, sepeda motor, masjid baru, jalan beraspal, dan masuknya listrik adalah rangkaian perubahan yang seperti bergegas mengubah tampilan dan kehidupan penduduk desa ini. Temaram lampu teplok segera diganti lampu neon dengan sumber listrik dari diesel. Jika televisi semula hanya ada 4, maka segera bertambah, bahkan bekali-kali lipat setelah listrik masuk menerangi kampung-kampung ini.

Percakapan Antara Cak Kusnan, veteran masjid di kampung itu, dengan Ulid, perihal jarangnya remaja yang berdiam di masjid menggambarkan dengan utuh bagaimana perubahan itu terjadi. Dari semula masjidnya yang kecil beralas semen seadanya tetapi selalu ramai oleh anak-anak dan orang dewasa, menjadi besar dan megah tetapi kerap kali sepi dari jamaah. Televisi, sepeda, jalan beraspal, kemudian sepeda motor, menyita banyak waktu para pemuda kampung untuk bergaul di luar masjid. Masjid sama sekali tak menarik, karena mereka kemudian menemukan kesenangan pada televisi dan menjelajah dengan sepeda atau sepeda motor.

Tapi sayang, Malaysia tidak selalu menjadi surga bagi orang Lerok. Ringgit tak selalu mudah didapat, apalagi mereka selalu diintai oleh migreisyen dan polis, karena tak semua TKI memiliki permit untuk bekerja di negeri jiran ini. Jika tertangkap, mereka akan dipenjara, lalu dibuang kembali ke Indonesia. Musibah tertangkap adalah malapetaka terburuk bagi orang Lerok.

Dan Tarmidi, ayah Ulid, yang juga menjadi TKI, akhirnya tertangkap dan dibuang ke Indonesia. Usahanya untuk kembali ke Malaysia juga gagal karena lagi-lagi tertangkap di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan. Tarmidi seperti kehilangan semangat. Maka laku merantau itu kemudian diteruskan oleh Kaswati, istri Tarmidi, yang terpaksa merantau untuk menutup hutang yang dipinjam untuk menebus suaminya di penjara Malaysia.

Lalu, Ulid?

Ulid adalah anak paling cerdas dan disiplin di desanya. Dahaganya terhadap ilmu, usahanya untuk menggapai cita-cita, upayanya untuk keluar dari rasa sakit dan iba, tak dimiliki oleh anak lain di desanya. Dia bercita-cita menjadi pemulia tanaman, karena itu dia berpikir akan kuliah di universitas negeri mengambil jurusan pertanian. Pernah terbersit pula dia ingin menjadi sejarawan, yang akan meneliti perkembangan pertanian bengkuang di desanya, menjelaskan mengapa pertanian bengkuang pernah jaya lantas mati sama sekali.

Tapi apakah hanya dengan cita-cita dan usaha manusia bisa mencapai yang dia ingin?

Novel ini, seperti pukulan telak bagi novel-novel lain yang seolah ingin bercerita dengan nada “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”, bahwa apapun cita-citanya, dapat dicapai dengan usaha, dan tentu doa. Pasti ada jalan. Pasti ada kemungkinan. Jika bersungguh-sungguh, cita-cita pasti tercapai. Man Jadda Wajada...

Maka pembaca novel ini lantas ditunjukkan pada realitas yang sering kali terjadi tetapi kerap kali diabaikan, atau lebih tepatnya tidak ingin dibaca dan temui (bukankah happy ending adalah rumus cerita yang sudah baku?). Tapi nyatanya, seberusaha sekuat apapun seseorang, dia tetap menemukan tembok tebal tak tertembus. Membaca novel ini, kita kemudian menemukan, dan juga terpaksa mengakuinya meski getir, bahwa kehidupan tidak selalu berjalan menanjak, sekuat apapun seseorang berupaya.

Ulid, yang telah mendaftar PMDK, akhirnya juga harus mengurus paspor untuk ke Malaysia. Sebab dia tak hidup sendirian. Tanggung jawabnya sebagai anak, baktinya sebagai kakak, harus diwujudkan dengan cara itu: kerja untuk menutup hutang, dan terus bekerja agar adik-adiknya dapat sekolah lebih baik dari dirinya.

Pembaca novel ini boleh kecewa, jika tak menemukan “keberhasilan” sebagaimana dia harapkan seperti dalam novel-novel “berakit-rakit ke hulu”. Sebab, Ulid, jagoan di novel ini, gagal menjalankan tugas inspirasionalnya, menjadi pembaharu pendidikan di kampungnya: dia anak tercerdas di kampungnya seharusnya mampu menamatkan kuliah di universitas negeri ternama. Himpitan ekonomi, utang, dan perubahan di tempat yang jauh (Malaysia) yang berakibat langsung ke jantung perekonomian Desa Lerok, akhirnya memaksa anak ini untuk turut menjadi TKI—sesuatu yang tidak saja bukan cita-citanya, melainkan juga hal yang dulu pernah paling dibencinya.

Bagi saya, selain poin penting setting desanya yang menawan, novel ini jauh lebih jujur menggambarkan realitas, bahwa gagal itu biasa dan sudah lumrah. Bahwa tak selamanya manjadda itu wajada. Saya kira, hal terakhir ini mewakili sikap “skeptis” penulis novel ini. Hehe...

Wallahua’lam...

Pulau Sumba: Tanah Para Tuan dan Hamba


Lukman Solihin

Mentari pagi mulai menyengat saat pesawat kami mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Minggu pertama bulan Oktober tahun 2012 adalah penghujung musim kemarau yang sukses memanggang Pulau Sumba menjadi karpet padang sabana yang menguning-kerontang. Sebagian wilayah di pulau ini tanahnya mengering berwarna putih karena mengandung pasir, batu, juga kapur. Sopir yang mengantar kami menunjuk perbukitan yang tandus sebagai akibat dari kemarau. Katanya, kalau musim hujan, semua tanah dan bukit dibalut rumput dan ilalang yang hijau, kontras dengan pemandangan kami hari itu.

Bandara ini satu dari dua bandara di Pulau Sumba. Satu lagi di Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Hampir setiap hari Bandara Umbu Mehang Kunda melayani rute Waingapu – Kupang atau sebaliknya. Apabila tidak ada penerbangan, bandara ditutup. Aktivitas di bandara, seperti kantin atau penjual suvenir, hanya berlangsung apabila ada kedatangan atau keberangkatan pesawat. Hanya ada dua toliet di bandara ini, yaitu di tempat kedatangan dan tempat keberangkatan. Pengambilan bagasi dilakukan secara manual tanpa mesin. Jadi, bagasi penumpang diambil dari pesawat dan diantar dengan kereta-gerobak ke bandara, lalu di bandara ada jendela kecil untuk memasukkan koper atau barang dan penumpang tinggal mengambilnya. Kantin di bandara ini hanya ada dua, yaitu kantin biasa dengan kapasitas 3 meja dan satu ruang semacam “executive lounge” (per orang dikenai 25 ribu rupiah). Di ruangan ini, Anda dapat menikmati kacang, kue, minuman kemasan di dalam kulkas, atau memesan minuman panas. Seorang kawan yang meminum kopi kotak kemasan sontak mengumpat setelah tahu ternyata tanggal kedaluwarsanya telah lewat satu bulan. Pantas agak kecut, katanya. Hehe...
Uma Mbatangu (Rumah bermenara), Rumah Tradisional Sumba.
Saya datang ke Sumba untuk mendokumentasikan upacara kubur batu yang akan dilaksanakan di Kecamata Umalulu (orang setempat menyebutnya Melolo) di Kabupaten Sumba Timur. Dua orang termasuk saya bertugas melakukan pengamatan dan wawancara untuk menyusun laporan deskripstif, tim lainnya yang terdiri dari tiga orang bertugas mendokumentasikan secara visual (melalui foto dan video). Ritual yang diyakini bersumber dari tradisi megalitik—yaitu tradisi zaman prasejarah yang ditandai dengan hasil budaya berupa batu-batu besar—ini akan dilaksanakan meriah karena akan memakamkan 4 jenazah dari kalangan maramba (bangsawan).

Di tanah ini, kasta atau strata sosial berdasarkan keturunan masih berlaku. Yang teratas adalah kaum maramba (bangsawan) yang dahulu hingga sekarang merupakan penguasa di bidang politik, tuan atas tanah (mangu tanangu) dan juga para budak. Lapis kedua ada golongan kabihu (orang bebas) yang merupakan orang kebanyakan. Lalu lapis ketiga adalah kaum “sendal jepit”, yaitu golongan ata (budak atau abdi) yang dikuasai oleh tuannya (kaum maramba). Golongan maramba dapat dikenali dari nama gelar yang mereka pakai, yaitu Umbu atau Tamu Umbu untuk laki-laki dan Rambu atau Tamu Rambu untuk perempuan.

Praktik tuan-hamba atau antara maramba dan ata ini masih berlangsung hingga sekarang. Seorang hamba bergantung hidupnya, dalam hal ini untuk makan dan penghidupan, dari tuannya. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah, pekerja kebun, pengurus hewan, atau pekerja kain tradisional dengan upah seadanya. Hidup mereka boleh dibilang seratus persen ditanggung oleh tuannya. Sementara mereka harus merelakan tenaga dan ketundukan kepada tuannya itu.

Sebaliknya, para bangsawan dan anak keturunannya juga bergantung kepada maramba dalam kehidupan keseharian mereka. Sumberdaya berupa sawah, kebun, pekarangan, hewan peliharaan, kerajinan kain, dan usaha lainnya tak akan berjalan mulus tanpa ata/hamba sebagai kaum pekerja. Kepemilikan atas golongan ata juga menaikkan status dan prestis para maramba, sebab semakin banyak hamba yang dikuasai dan ditanggung hidupnya menunjukkan kemampuannya di bidang ekonomi dan kekuasaan yang dimilikinya.

Sekilas, praktik tuan-hamba ini nampak “cukup manusiawi” karena para hamba juga diperlakukan dengan nisbi baik. Mereka ditanggung hidupnya, juga biaya sekolah bagi anak-anaknya. Namun sebuah kasus pada tahun 2006 yang sempat disiarkan media menguak praktik perhambaan yang tak manusiawi. Ketika itu, seorang ibu dari kaum hamba dituduh membunuh anaknya sendiri. Dalam sebuah penyelidikan oleh wartawan/aktivis perempuan terungkap bahwa anak yang terbunuh penuh dengan bilur-bilur luka bekas lecutan cemeti. Aktivis itu mengatakan, tak mungkin seorang ibu yang membesarkan anaknya sendiri tega membunuh anaknya memakai cemeti hingga mati. Sang ibu sendiri mengaku memukul anaknya, lalu si anak tidur dan lalu mati. Pernyataan itu bertentangan dengan kondisi si anak dengan bilur-bilur bekas cemeti. Anak ini tentu disiksa lebih dahulu sebelum ajalnya, dan mungkin sang ibu yang budak disuruh oleh tuannya untuk mengaku sebagai pelaku, karena tak ada pilihan lain kecuali mematuhi perintah itu (baca liputan KBR 68 H).

Marapu
Ketergantungan kaum hamba kepada maramba ini membuat mereka tak mudah untuk melakukan mobilitas sosial, misalnya menjadi manusia bebas yang tak lagi berstatus hamba. Sebagian hamba bahkan cenderung “rela” dan “ikhlas” menjadi hamba karena demikianlah yang mereka pikirkan sebagai kehidupan ideal (mungkin ada kemiripan dengan para abdi dalem di Keraton Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta). “Kerelaan” ini dapat ditelusuri lebih jauh sumbernya dari kepercayaan Marapu, agama lokal masyarakat Sumba yang termasuk ke dalam agama dengan ritual pemujaan nenek moyang (ancestor worship).

Agama ini dahulu merupakan agama mayoritas penduduk setempat hingga pekabaran injil dimulai sekitar tahun 1816. Namun, seperti ditulis oleh Purwadi Soeriadiredja, dalam disertasinya tentang Agama Marapu, pekabaran injil tidak begitu berhasil hingga tahun 1990. Kristen mulai dianut dan menjadi agama mayoritas pasca-tahun 1990-an, ketika agama resmi menjadi prasyarat anak-anak Sumba untuk bersekolah formal. Saat ini, penganut kristen di Sumba Timur mencapai 75 persen, sementara penganut Marapu menduduki posisi kedua, yaitu sekitar 9,8%, kemudian Katolik 8,4%, dan Islam 6,4%. Agama resmi lainnya, seperti Hindu, Buddha, dan Konghucu pemeluknya tidak lebih dari satu persen dan umumnya dipeluk oleh para pendatang. Keterdesakan agama Marapu dapat dipahami sebagaimana terjadi pada agama-agama lokal lainnya, yaitu kombinasi antara desakan dari kaum misionaris agama-agama resmi dan perlindungan negara yang tak memadai.
Jenazah yang akan dikubur batu, dibungkus kain tradisional.

Kembali kepada konsepsi tentang tuan-hamba tadi, agama Marapu menguatkan atau menjustifikasi keyakinan bahwa alam baka tidak begitu berbeda dengan alam dunia. Seorang maramba statusnya tetap sebagai maramba dan begitu pula seorang ata akan tetap statusnya sebagai kaum hamba di alam sana. Oleh sebab itu, pada zaman dulu seorang maramba yang mati akan diupacarai dengan cara menyembelih kuda sebagai kendaraan di alam akhirat nanti. Kaum maramba ini juga dibalut kain tradisional terbaik, kain mahal yang harganya bisa puluhan juta, sebagai pakaian di alam akhirat. Mereka juga didampingi oleh hambanya yang paling setia dengan cara dipenggal atau dikuburkan dengan cara hidup-hidup. Seorang golongan maramba yang saya temui menegaskan, bahwa dahulu (artinya sekarang tidak lagi terjadi) karena begitu setia kepada tuannya, seorang hamba dengan kerelaannya sendiri bahkan meminta untuk mati bersama tuannya.

Kesaksian Soeriadiredja yang ditulis dalam disertasinya, pada tahun 1982 ketika dia mengamati langsung prosesi kubur batu dari raja setempat, banyak polisi dan tentara berjaga untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti bunuh diri dari hamba yang ingin menyertai tuannya. Nama-nama hamba ini dicatat dan lubang kubur batu dijaga ketat supaya tak seorang pun meloloskan diri untuk ikut terkubur. Kesaksian saya sendiri dalam upacara kubur batu yang dilaksanakan awal Oktober ini, tak satu kepala pun dipenggal, kecuali kuda, kerbau, dan babi.

Kompleks kubur batu.

Kaum maramba ini adalah penguasa di bidang politik dan ekonomi di tingkat lokal. Para keturunan maramba, seperti telah saya sebutkan adalah tuan tanah hingga sekarang. Mereka juga mewarisi usaha perkebunan, perladangan, peternakan, juga semacam industri kain tradisional. Dengan sumber daya dan kedekatan dengan penguasa (pada zaman kolonial mereka juga diakui oleh pemerintah kolonial sebagai wakil gubernur jenderal di wilayah setempat), membuat anak-anak mereka turut diuntungkan karena mampu mengenyam pendidikan tinggi. Banyak kaum maramba yang saat ini menjadi pejabat publik di daerah merupakan orang-orang yang dahulu disekolahkan ke Jawa. Anak-anak mereka juga kini bersekolah di perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama di Jawa. Adapun kaum hamba umumnya hanya bersekolah dasar atau bahkan putus sekolah karena mereka cenderung tidak berminat untuk bersekolah. Apabila mereka memiliki anak, maka anak-anak mereka tetap merupakan aset tuannya dan dapat diwariskan kepada anak-cucu tuannya. Hubungan gelap di antara kaum hamba tidak begitu dipersoalkan karena anak-anak mereka tetap merupakan “aset” tuannya.

Tenun Ikat
Kabupaten Sumba Timur sendiri merupakan sentra penghasil tenun Sumba yang sudah tersohor hingga mancanegara. Kain dari daerah ini memiliki motif khas yang berbeda dengan kain dari Sumba Barat. Menurut salah seorang pengrajin, kain dari Sumba Barat umumnya tak memiliki motif atau datar-datar saja, sementara dari Sumba Timur banyak lahir motif seperti udang, kuda, dan lain-lain yang dilahirkan dan dikreasi oleh kaum maramba. Sebagian motif kain dahulu hanya dipakai oleh kaum bangsawan. Bahkan ada kain-kain tertentu yang hanya diperlihatkan pada saat tertentu pula. Hal ini untuk menghindari agar orang kebanyakan tidak meniru motif-motif tersebut.

Namun, seperti disebutkan oleh seorang Rambu (sebutan untuk keturunan bangsawan perempuan), hal itu saat ini tidak berlaku lagi karena semua orang sudah mengetahui dan dapat membuat motif yang dipakai oleh kaum maramba. Apabila mereka tidak membuat sendiri, mereka juga bisa membeli kepada kaum maramba yang juga menjadi pengrajin kain tersebut. Aturan kain-kain tertentu yang hanya dipakai oleh golongan maramba kini telah cair, sehingga perbedaan yang menyolok dari segi pakaian tradisional antara golongan maramba dan orang biasa bisa dibilang sudah tak ada lagi.

Pengrajin kain Sumba.

Kain atau dalam bahasa Sumba disebut pahikung (tinung pahikung=kain tenun) terbagi menjadi dua jenis, yaitu kain (kain panjang/selimut) (disebut hinggi) dan sarung (disebut lau). Kain panjang biasa dipakai oleh laki-laki sebagai penutup bawah, penutup atas, dan juga ikat kepala. Sedangkan sarung dipakai oleh kaum perempuan. Kain sendiri ada yang dibuat dengan teknik tenun ikat dan ada yang dibuat dengan teknik songket. Dibandingkan teknik songket, tenun ikat lebih tinggi pamornya, sehingga lebih dihargai dan lebih mahal harganya di pasaran. Tenun ikat merupakan kain yang dibuat dengan teknik rintang warna memakai ikat.
Rintang warna di sini diperlukan untuk membuat motif, sebagaimana batik menggunakan lilin (malam) untuk menghalangi warna dan menciptakan motif. Berbeda dengan batik yang motifnya ditorehkan kepada kain yang sudah jadi, tenun ikat motifnya dibuat pada saat masih berbentuk benang. Sekumpulan benang diikat kemudian dicelupkan pada cairan pewarna alam. Setelah kering, ikat dibuka dan kemudian dicelup warna lagi. Banyaknya warna pada motif mempengaruhi lamanya kain dibuat, karena setiap warna yang dihasilkan kemudian diikat lagi agar tidak tercampur dengan warna lain ketika proses pewarnaan selanjutnya. Proses inilah yang membuat kain Sumba menjadi eksklusif dan mahal.

Selain itu, pewarna alami juga memerlukan usaha keras tersendiri, karena tumbuhan tersebut diambil langsung dari alam, ditumbuk atau direbus untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Karena pewarnanya dari alam, maka tampilan warna yang dihasilkan lebih sejuk, temaram, atau tidak ngejreng. Kain-kain tua atau sudah berumur puluhan tahun biasanya semakin tinggi harganya dan paling banyak diburu kolektor. Kain-kain terbaik ini dipersembahkan sebagai mas kawin, atau sebagai persembahan kepada jenazah yakni untuk kain pelapis jenazah atau untuk bekal kubur.

Lantas, bagaimana proses upacara kubur batu dilaksanakan?
Saya tuliskan di lain kesempatan :)