Pulau Sumba: Tanah Para Tuan dan Hamba


Lukman Solihin

Mentari pagi mulai menyengat saat pesawat kami mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda, Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Minggu pertama bulan Oktober tahun 2012 adalah penghujung musim kemarau yang sukses memanggang Pulau Sumba menjadi karpet padang sabana yang menguning-kerontang. Sebagian wilayah di pulau ini tanahnya mengering berwarna putih karena mengandung pasir, batu, juga kapur. Sopir yang mengantar kami menunjuk perbukitan yang tandus sebagai akibat dari kemarau. Katanya, kalau musim hujan, semua tanah dan bukit dibalut rumput dan ilalang yang hijau, kontras dengan pemandangan kami hari itu.

Bandara ini satu dari dua bandara di Pulau Sumba. Satu lagi di Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat. Hampir setiap hari Bandara Umbu Mehang Kunda melayani rute Waingapu – Kupang atau sebaliknya. Apabila tidak ada penerbangan, bandara ditutup. Aktivitas di bandara, seperti kantin atau penjual suvenir, hanya berlangsung apabila ada kedatangan atau keberangkatan pesawat. Hanya ada dua toliet di bandara ini, yaitu di tempat kedatangan dan tempat keberangkatan. Pengambilan bagasi dilakukan secara manual tanpa mesin. Jadi, bagasi penumpang diambil dari pesawat dan diantar dengan kereta-gerobak ke bandara, lalu di bandara ada jendela kecil untuk memasukkan koper atau barang dan penumpang tinggal mengambilnya. Kantin di bandara ini hanya ada dua, yaitu kantin biasa dengan kapasitas 3 meja dan satu ruang semacam “executive lounge” (per orang dikenai 25 ribu rupiah). Di ruangan ini, Anda dapat menikmati kacang, kue, minuman kemasan di dalam kulkas, atau memesan minuman panas. Seorang kawan yang meminum kopi kotak kemasan sontak mengumpat setelah tahu ternyata tanggal kedaluwarsanya telah lewat satu bulan. Pantas agak kecut, katanya. Hehe...
Uma Mbatangu (Rumah bermenara), Rumah Tradisional Sumba.
Saya datang ke Sumba untuk mendokumentasikan upacara kubur batu yang akan dilaksanakan di Kecamata Umalulu (orang setempat menyebutnya Melolo) di Kabupaten Sumba Timur. Dua orang termasuk saya bertugas melakukan pengamatan dan wawancara untuk menyusun laporan deskripstif, tim lainnya yang terdiri dari tiga orang bertugas mendokumentasikan secara visual (melalui foto dan video). Ritual yang diyakini bersumber dari tradisi megalitik—yaitu tradisi zaman prasejarah yang ditandai dengan hasil budaya berupa batu-batu besar—ini akan dilaksanakan meriah karena akan memakamkan 4 jenazah dari kalangan maramba (bangsawan).

Di tanah ini, kasta atau strata sosial berdasarkan keturunan masih berlaku. Yang teratas adalah kaum maramba (bangsawan) yang dahulu hingga sekarang merupakan penguasa di bidang politik, tuan atas tanah (mangu tanangu) dan juga para budak. Lapis kedua ada golongan kabihu (orang bebas) yang merupakan orang kebanyakan. Lalu lapis ketiga adalah kaum “sendal jepit”, yaitu golongan ata (budak atau abdi) yang dikuasai oleh tuannya (kaum maramba). Golongan maramba dapat dikenali dari nama gelar yang mereka pakai, yaitu Umbu atau Tamu Umbu untuk laki-laki dan Rambu atau Tamu Rambu untuk perempuan.

Praktik tuan-hamba atau antara maramba dan ata ini masih berlangsung hingga sekarang. Seorang hamba bergantung hidupnya, dalam hal ini untuk makan dan penghidupan, dari tuannya. Mereka dipekerjakan sebagai pembantu rumah, pekerja kebun, pengurus hewan, atau pekerja kain tradisional dengan upah seadanya. Hidup mereka boleh dibilang seratus persen ditanggung oleh tuannya. Sementara mereka harus merelakan tenaga dan ketundukan kepada tuannya itu.

Sebaliknya, para bangsawan dan anak keturunannya juga bergantung kepada maramba dalam kehidupan keseharian mereka. Sumberdaya berupa sawah, kebun, pekarangan, hewan peliharaan, kerajinan kain, dan usaha lainnya tak akan berjalan mulus tanpa ata/hamba sebagai kaum pekerja. Kepemilikan atas golongan ata juga menaikkan status dan prestis para maramba, sebab semakin banyak hamba yang dikuasai dan ditanggung hidupnya menunjukkan kemampuannya di bidang ekonomi dan kekuasaan yang dimilikinya.

Sekilas, praktik tuan-hamba ini nampak “cukup manusiawi” karena para hamba juga diperlakukan dengan nisbi baik. Mereka ditanggung hidupnya, juga biaya sekolah bagi anak-anaknya. Namun sebuah kasus pada tahun 2006 yang sempat disiarkan media menguak praktik perhambaan yang tak manusiawi. Ketika itu, seorang ibu dari kaum hamba dituduh membunuh anaknya sendiri. Dalam sebuah penyelidikan oleh wartawan/aktivis perempuan terungkap bahwa anak yang terbunuh penuh dengan bilur-bilur luka bekas lecutan cemeti. Aktivis itu mengatakan, tak mungkin seorang ibu yang membesarkan anaknya sendiri tega membunuh anaknya memakai cemeti hingga mati. Sang ibu sendiri mengaku memukul anaknya, lalu si anak tidur dan lalu mati. Pernyataan itu bertentangan dengan kondisi si anak dengan bilur-bilur bekas cemeti. Anak ini tentu disiksa lebih dahulu sebelum ajalnya, dan mungkin sang ibu yang budak disuruh oleh tuannya untuk mengaku sebagai pelaku, karena tak ada pilihan lain kecuali mematuhi perintah itu (baca liputan KBR 68 H).

Marapu
Ketergantungan kaum hamba kepada maramba ini membuat mereka tak mudah untuk melakukan mobilitas sosial, misalnya menjadi manusia bebas yang tak lagi berstatus hamba. Sebagian hamba bahkan cenderung “rela” dan “ikhlas” menjadi hamba karena demikianlah yang mereka pikirkan sebagai kehidupan ideal (mungkin ada kemiripan dengan para abdi dalem di Keraton Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta). “Kerelaan” ini dapat ditelusuri lebih jauh sumbernya dari kepercayaan Marapu, agama lokal masyarakat Sumba yang termasuk ke dalam agama dengan ritual pemujaan nenek moyang (ancestor worship).

Agama ini dahulu merupakan agama mayoritas penduduk setempat hingga pekabaran injil dimulai sekitar tahun 1816. Namun, seperti ditulis oleh Purwadi Soeriadiredja, dalam disertasinya tentang Agama Marapu, pekabaran injil tidak begitu berhasil hingga tahun 1990. Kristen mulai dianut dan menjadi agama mayoritas pasca-tahun 1990-an, ketika agama resmi menjadi prasyarat anak-anak Sumba untuk bersekolah formal. Saat ini, penganut kristen di Sumba Timur mencapai 75 persen, sementara penganut Marapu menduduki posisi kedua, yaitu sekitar 9,8%, kemudian Katolik 8,4%, dan Islam 6,4%. Agama resmi lainnya, seperti Hindu, Buddha, dan Konghucu pemeluknya tidak lebih dari satu persen dan umumnya dipeluk oleh para pendatang. Keterdesakan agama Marapu dapat dipahami sebagaimana terjadi pada agama-agama lokal lainnya, yaitu kombinasi antara desakan dari kaum misionaris agama-agama resmi dan perlindungan negara yang tak memadai.
Jenazah yang akan dikubur batu, dibungkus kain tradisional.

Kembali kepada konsepsi tentang tuan-hamba tadi, agama Marapu menguatkan atau menjustifikasi keyakinan bahwa alam baka tidak begitu berbeda dengan alam dunia. Seorang maramba statusnya tetap sebagai maramba dan begitu pula seorang ata akan tetap statusnya sebagai kaum hamba di alam sana. Oleh sebab itu, pada zaman dulu seorang maramba yang mati akan diupacarai dengan cara menyembelih kuda sebagai kendaraan di alam akhirat nanti. Kaum maramba ini juga dibalut kain tradisional terbaik, kain mahal yang harganya bisa puluhan juta, sebagai pakaian di alam akhirat. Mereka juga didampingi oleh hambanya yang paling setia dengan cara dipenggal atau dikuburkan dengan cara hidup-hidup. Seorang golongan maramba yang saya temui menegaskan, bahwa dahulu (artinya sekarang tidak lagi terjadi) karena begitu setia kepada tuannya, seorang hamba dengan kerelaannya sendiri bahkan meminta untuk mati bersama tuannya.

Kesaksian Soeriadiredja yang ditulis dalam disertasinya, pada tahun 1982 ketika dia mengamati langsung prosesi kubur batu dari raja setempat, banyak polisi dan tentara berjaga untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti bunuh diri dari hamba yang ingin menyertai tuannya. Nama-nama hamba ini dicatat dan lubang kubur batu dijaga ketat supaya tak seorang pun meloloskan diri untuk ikut terkubur. Kesaksian saya sendiri dalam upacara kubur batu yang dilaksanakan awal Oktober ini, tak satu kepala pun dipenggal, kecuali kuda, kerbau, dan babi.

Kompleks kubur batu.

Kaum maramba ini adalah penguasa di bidang politik dan ekonomi di tingkat lokal. Para keturunan maramba, seperti telah saya sebutkan adalah tuan tanah hingga sekarang. Mereka juga mewarisi usaha perkebunan, perladangan, peternakan, juga semacam industri kain tradisional. Dengan sumber daya dan kedekatan dengan penguasa (pada zaman kolonial mereka juga diakui oleh pemerintah kolonial sebagai wakil gubernur jenderal di wilayah setempat), membuat anak-anak mereka turut diuntungkan karena mampu mengenyam pendidikan tinggi. Banyak kaum maramba yang saat ini menjadi pejabat publik di daerah merupakan orang-orang yang dahulu disekolahkan ke Jawa. Anak-anak mereka juga kini bersekolah di perguruan tinggi-perguruan tinggi ternama di Jawa. Adapun kaum hamba umumnya hanya bersekolah dasar atau bahkan putus sekolah karena mereka cenderung tidak berminat untuk bersekolah. Apabila mereka memiliki anak, maka anak-anak mereka tetap merupakan aset tuannya dan dapat diwariskan kepada anak-cucu tuannya. Hubungan gelap di antara kaum hamba tidak begitu dipersoalkan karena anak-anak mereka tetap merupakan “aset” tuannya.

Tenun Ikat
Kabupaten Sumba Timur sendiri merupakan sentra penghasil tenun Sumba yang sudah tersohor hingga mancanegara. Kain dari daerah ini memiliki motif khas yang berbeda dengan kain dari Sumba Barat. Menurut salah seorang pengrajin, kain dari Sumba Barat umumnya tak memiliki motif atau datar-datar saja, sementara dari Sumba Timur banyak lahir motif seperti udang, kuda, dan lain-lain yang dilahirkan dan dikreasi oleh kaum maramba. Sebagian motif kain dahulu hanya dipakai oleh kaum bangsawan. Bahkan ada kain-kain tertentu yang hanya diperlihatkan pada saat tertentu pula. Hal ini untuk menghindari agar orang kebanyakan tidak meniru motif-motif tersebut.

Namun, seperti disebutkan oleh seorang Rambu (sebutan untuk keturunan bangsawan perempuan), hal itu saat ini tidak berlaku lagi karena semua orang sudah mengetahui dan dapat membuat motif yang dipakai oleh kaum maramba. Apabila mereka tidak membuat sendiri, mereka juga bisa membeli kepada kaum maramba yang juga menjadi pengrajin kain tersebut. Aturan kain-kain tertentu yang hanya dipakai oleh golongan maramba kini telah cair, sehingga perbedaan yang menyolok dari segi pakaian tradisional antara golongan maramba dan orang biasa bisa dibilang sudah tak ada lagi.

Pengrajin kain Sumba.

Kain atau dalam bahasa Sumba disebut pahikung (tinung pahikung=kain tenun) terbagi menjadi dua jenis, yaitu kain (kain panjang/selimut) (disebut hinggi) dan sarung (disebut lau). Kain panjang biasa dipakai oleh laki-laki sebagai penutup bawah, penutup atas, dan juga ikat kepala. Sedangkan sarung dipakai oleh kaum perempuan. Kain sendiri ada yang dibuat dengan teknik tenun ikat dan ada yang dibuat dengan teknik songket. Dibandingkan teknik songket, tenun ikat lebih tinggi pamornya, sehingga lebih dihargai dan lebih mahal harganya di pasaran. Tenun ikat merupakan kain yang dibuat dengan teknik rintang warna memakai ikat.
Rintang warna di sini diperlukan untuk membuat motif, sebagaimana batik menggunakan lilin (malam) untuk menghalangi warna dan menciptakan motif. Berbeda dengan batik yang motifnya ditorehkan kepada kain yang sudah jadi, tenun ikat motifnya dibuat pada saat masih berbentuk benang. Sekumpulan benang diikat kemudian dicelupkan pada cairan pewarna alam. Setelah kering, ikat dibuka dan kemudian dicelup warna lagi. Banyaknya warna pada motif mempengaruhi lamanya kain dibuat, karena setiap warna yang dihasilkan kemudian diikat lagi agar tidak tercampur dengan warna lain ketika proses pewarnaan selanjutnya. Proses inilah yang membuat kain Sumba menjadi eksklusif dan mahal.

Selain itu, pewarna alami juga memerlukan usaha keras tersendiri, karena tumbuhan tersebut diambil langsung dari alam, ditumbuk atau direbus untuk mendapatkan warna yang diinginkan. Karena pewarnanya dari alam, maka tampilan warna yang dihasilkan lebih sejuk, temaram, atau tidak ngejreng. Kain-kain tua atau sudah berumur puluhan tahun biasanya semakin tinggi harganya dan paling banyak diburu kolektor. Kain-kain terbaik ini dipersembahkan sebagai mas kawin, atau sebagai persembahan kepada jenazah yakni untuk kain pelapis jenazah atau untuk bekal kubur.

Lantas, bagaimana proses upacara kubur batu dilaksanakan?
Saya tuliskan di lain kesempatan :)

3 komentar:

bintoro mengatakan...

seep

bintoro mengatakan...

http://sumbahidupsehat.blogspot.com/

Maria Kristi mengatakan...

Nice info. Tapi ada sedikit koreksi. Bandar udara yang satu lagi, yang (dulu) di Sumba Barat, sekarang di Sumba Barat Daya, bukan di Waikabubak. Waikabubak itu nama ibu kota Sumba Barat. Bandaranya sendiri di daerah Tambolaka. Nama kotanya Waitabula.

Posting Komentar