Tukang Becak : Yang Bebas dan Yang Terpaksa Memilih

Lukman S. 

Pertengahan Februari lalu kami liburan ke Jogja. Sampai di Stasiun Tugu, kami sengaja tidak memilih taksi untuk pergi ke hotel, melainkan mencoba bernostalgia dengan menumpang becak. Si Chiya, anak kami, girang bukan main karena setelah sekian lama, baru kali itu dia merasakan kembali pengalaman naik becak. Dulu waktu kami masih bermukim di Jogja, di akhir pekan, sering kami menyewa becak mini yang disewakan di Alun-Alun Kidul. Rasanya asyik berkeliling alun-alun dengan becak mini itu.

Belum lama ini, teman saya berkesempatan pergi ke New York dalam rangka memenuhi tanggungan kerjanya. Dia sempat berfoto saat naik becak di sana. Saya akhirnya tahu, di New York ada becak (pedicab) juga. Lalu kira-kira, apa bedanya ya para penarik becak di New York dengan di Indonesia?

Kalau merujuk kepada peribahasa mungkin salah satu jawabannya adalah TEMPAT. Katanya: Lain Ladang Lain Belalang, Lain Lubuk Lain Ikannya. Meskipun profesinya sama, tetapi karena berada dan dilakukan di tempat yang berbeda, maka berbeda pula nilanya, berbeda pula cara kita melihatnya.

Frankie Legarreta. Sumber: http://www.voaindonesian.com
Mari kita bandingkan cerita “bosan jadi pegawai” sebagaimana judul acara di salah satu televisi di Indonesia ini. Seorang pekerja kantoran merasa bosan bekerja di dalam ruangan berpenyejuk udara, dibatasi geraknya oleh ruang, dan tak memiliki banyak waktu luang. Membosankan. Ia lalu membebaskan diri dengan cara yang menurut sebagian besar rakyat Indonesia tidak lazim: menjadi tukang becak.

Tapi tunggu dulu. Ini adalah pilihan yang dilakukan oleh Frankie Legarreta, seorang warga Manhattan yang telah mengayuh becak selama enam tahun ini di seputar Central Park, New York. Pilihan pekerjaannya cukup unik, terkesan “out of the box”, sehingga  ia layak diberitakan oleh VOA dengan tajuk “Kisah Seorang Penarik Becak di Kota New York” (3 April 2012).

Tentu saja, ini bukan keputusan tergesa karena tanpa pilihan seperti dilakukan oleh banyak penarik becak di negeri ini, sebut saja Kastini (seorang Ibu penarik becak di kd ota Tuban), atau Mbah Pon atau Ponirah (ibu penarik becak di Bantul, Yogyakarta), Dewi Rapika (ibu penarik becak motor di Medan), atau bahkan Suharto (mantan atlet balap sepeda yang pernah menyumbangkan medali emas pada SEA Games 1979 yang juga membecak).

Pekerjaan Frankie menjadi menarik karena profesi yang dilakukannya dianggap “lain” tapi dalam makna yang positif. Pekerjaan ini bukan profesi seperti sopir taksi yang mengendari kendaraan beroda empat dengan ruangan tertutup dan berpenyejuk udara seperti banyak berseliweran di pusat keramaian di New York. Pekerjaan ini menguras tenaga, keringat, dan semangat untuk menembus kebuntuan dan kemacetan kota New York dengan cara yang mengasyikkan.

Frankie merasa bahwa inilah pilihan yang tepat untuk dirinya: kebahagiaan yang didapat dengan cara berolahraga, memperoleh imbalan, bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang, dan berbagi cerita tentang New York kepada para wisatawan yang menggunakan jasanya. Ia mampu memilih dan lalu melakukan apa yang ingin dilakukannya. Ia menikmati pekerjaan itu karena itulah yang diinginkannya.

Tidak demikian dengan Kastini, Mbah Pon, Dewi Rapika, atau Suharto. Mereka semua menarik becak karena keterpaksaan: pilihan yang dilakukan karena tak ada pilihan lain. Misalnya saja Kastini (45 th), ibu dari 7 anak, dan sudah lebih dari 15 tahun mengayuh becak untuk memperoleh nafkah. Ia kerap kali mangkal di Terminal Wisata Makam Sunan Bonang, Tuban (http://metrotvnews.com).

Mbah Ponirah. Sumber: http://rezco.wordpress.com
Pun demikian dengan Mbah Pon atau Ponirah (57 th) yang sudah lebih 22 tahun menarik becak di daerah Bantul, Yogyakarta. Perempuan yang satu ini dianggap sebagai “Perempuan Perkasa”, pernah menjadi bintang iklan minuman berenergi yang juga dibintangi almarhum Mbah Maridjan, dan tetap bertahan bahkan bangkit dari musibah gempa bumi yang merontokkan rumah dan memusnahkan ternak bebeknya (http://rezco.wordpress.com).

Agak berbeda dengan Kastini dan Mbah Pon, Dewi Rapika tidak mengayuh pedal becak, melainkan menggunakan becak motor (bentor/bemor) (http://berita.liputan6.com). Becak jenis ini memang salah satu kendaraan khas di Medan. Tidak perlu mengayuh dengan capek, atau mendorong becak saat tanjakan, cukup menginjak persneling dan memutar gas. Wuzzz... becak bisa meluncur kencang.

Tiga perempuan yang saya sebut tadi melakoni pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap tidak lumrah: pekerjaan “kasar” dan “berat” yang biasanya hanya dilakukan oleh laki-laki. Perempuan bukan hanya dianggap tidak wajar apabila berprofesi di bidang ini, tetapi bahkan dalam beberapa kondisi dianggap sebagai aib. Tetapi negeri ini memang tak memberikan banyak pilihan. Pendidikan yang rendah, keterampilan yang terbatas, serta sumberdaya ekonomi yang lemah, tak mampu mengangkat harkat masyarakatnya. Apalagi untuk perempuan.

Bahkan untuk beberapa waktu dalam proses adaptasi mereka, para perempuan ini mengalami penghinaan baik nampak maupun tidak. Tapi manisnya, akhirnya mereka memperoleh penerimaan, bahkan dianggap sebagai “pahlawan” karena mampu mendobrak asumsi dan persepsi negatif di lingkungannya.

Begitu pula Suharto. Mantan atlet balap sepeda yang mengandalkan kekuatan kayuhan paha-betis-kaki ini akhirnya hanya mampu memanfaatkan potensinya itu, tidak sebagai pelatih, melainkan pengayuh becak. Hidup nomaden dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain, dan lalu harus istirahat total dari pekerjaannya karena menderita hernia. (http://www.smartnewz.info).

Perbandingan dalam pepatah “lain ladang lain belalang” juga muncul dan ramai dibicarakan pada awal tahun ini: tukang sampah dari inggris menjajal pekerjaan tukang sampah di Jakarta. Dalam sebuah tayangan bertajuk “Toughest Place to be a Binman” (Tempat Tersulit untuk Menjadi Tukang Sampah) yang disiarkan oleh BBC London telah menarik perhatian masyarakat Indonesia, terutama yang bermukim di Inggris. Ada yang berkomentar, ini contoh yang “memalukan” bagi para pejabat di Jakarta. Tapi tak jarang juga yang merasa terharu.

Wilbur dan Imam. Sumber: http://www.bbc.co.uk
Tersebutlah Wilbur Ramirez yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sampah di Inggris menjajal pekerjaan sejawatnya, Imam yang menjadi tukang sampah di Jakarta. Selama 10 hari Wilbur mengikuti kegiatan sehari-hari Imam, bahkan beberapa kali mencoba menggantikan pekerjaan Imam. Hasilnya, Wilbur tak kuasa menahan haru. Bagaimana mungkin Imam mampu mengerjakan pekerjaan semaha-berat itu: berkeliling menarik gerobak dengan tubuhnya dari rumah ke rumah, dibayar dengan gaji rendah, dan tanpa jaminan kesehatan? (http://oase.kompas.com

Hidup seperti Sisifus

Cerita tentang tukang becak dan tukang sampah ini menyadarkan saya bahwa hidup memang tak selalu menyediakan pilihan. Atau mungkin lebih tepatnya, hidup tak menyediakan pilihan yang sama bagi setiap orang. Seseorang, karena dilahirkan dan hidup di suatu tempat, dapat lebih berdaya untuk memilih kehidupan yang diinginkannya. Sementara sebagian yang lain tak berdaya dengan pilihan-pilihan terbatas yang ditawarkan.

Menjadi apapun kita, bekerja di bidang apapun kita, bagi saya, selalu saja kita seperti sisifus yang “dikutuk” Dewa untuk selalu menggotong batu ke atas bukit, kemudian menjatuhkannya kembali. Sisifus melakukannya berkali-kali, dan kita menyaksikan itu sebagai “kutukan” yang paling menyakitkan: Dewa menghukum Sisifus dengan keterbatasan pilihan.

Tapi Albert Camus dalam Mite Sisifus melihatnya dengan kacamata yang berbeda. Mungkin bagi sebagian dari kita, Sisifus nampak sangat tersiksa dengan pekerjaan yang sia-sia itu, pekerjaan yang absurd. Tetapi bagi Camus, Sisifus sebetulnya bahagia. Ia melakukan konsekuensi yang telah ia pilih: menentang para dewa meskipun diganjar hukuman yang paling muskil. 

Perjuangan yang yang dilakukan oleh Sisifus itu sendiri, untuk mengangkat bongkahan batu ke atas bukit meskipun ketika di puncak ia jatuhkan lagi, sudah cukup untuk mengisi hati kita bahwa begitulah makna perjuangan hidup. Bukankah dengan tetap bertahan dan berjuang mempertahankan hidup jauh lebih mulia daripada bunuh diri?

Hari ini kita menyaksikan banyak orang telah menjelma “Sisifus Jam 7 Pagi” sebagaimana sajak Ook Nugroho. Mereka berangkat pagi-pagi, memenuhi panggilan para “Dewa” yang telah menjelma menjadi bos-bos berdasi. Mereka mungkin tak nampak menggotong bongkahan batu, tetapi wajah kusut dan kuyu tak mampu menyembunyikan bongkahan masalah yang mereka bawa, bahkan hingga larut malam menjadi pekerjaan rumah. Mereka seolah terbelenggu. Seperti kata Ook Nugroho dalam sajaknya: “Sampai tua. Sampai lupa buat apa ini semua” (Ook Nugroho, dalam http://syairsyiar.blogspot.com).

Kalau boleh mengamini Camus, mungkin memang sebaiknya kita tak melulu melihat Kastini, Mbah Pon, Dewi Rapika, atau Suharto sebagai Sisifus yang (hanya) tersiksa jika kita membandingkannya dengan kisah Frankie Legarreta atau Wilbur Ramirez. Adakalanya mereka memang menggotong batu masalah yang maha berat, tetapi dari perjuangannya itu kita tahu: mereka sedang berjuang mengisi hidup. Tidak dengan berdiam diri atau mengulurkan tangan di perempatan jalan, melainkan dengan bekerja. Begitulah mungkin sebaiknya kita memaknainya. Meskipun itu tidak berarti kita bersepakat atau mengamini keadaan yang ada.[]

Karnaval Pengetahuan Remy Sylado

Lukman S.

Sumber: http://aklahat.wordpress.com
Saya merasa perlu menulis semacam ulasan setelah membaca beberapa roman karya Remy Sylado sekurang-kurangnya karena dua hal. Pertama, karangannya selalu menarik (setidaknya dari 4 karya yang saya baca), baik dari segi tema maupun caranya bercerita. Kedua, pengarang yang satu ini (menurut pribadi saya) merupakan salah satu pengarang jenius, atau setidaknya mendekati jenius karena muatan pengetahuan yang diembankan dalam karya-karyanya begitu kuat (rodo lebay ki... hehe...). Artinya, ia tak hanya piawai mengarang jalannya cerita, juga persentuhan antar-tokohnya. Terlebih lagi, Remy amat pandai menyelipkan berbagai pengetahuan mulai dari sejarah, musik, kata dan muasal kata, atau puisi ke dalam jalan ceritanya.

Sebetulnya saya sudah pernah membaca karya Remy sebelum ini, yaitu Ca Bau Kan. Tapi terus terang saya sudah lupa detailnya. Ketika saya mencoba menghatamkan Kerudung Merah Kirmizi tempo hari, prosa yang diganjar Khatulistiwa Literary Award itu, saya lalu tertarik untuk membaca novel-novel lainnya. Jadilah saya kemudian membaca pula Parijs van Java, Kembang Jepun, dan terakhir kemarin Menunggu Matahari Melbourne.

Sebelum saya kemukakan beberapa hal yang saya anggap menarik dalam karya-karya Remy itu, saya harus katakan bahwa sebelumnya saya membaca novel lain dari pengarang yang lain juga, antara lain Perahu Kertas karya Dewi Lestari/Dee, kemudian Arok Dedes karya Pramoedya, dan Desersi karya MTH. Paralaer. Kenapa hal ini saya utarakan, karena ada beberapa simpulan yang saya peroleh dengan membandingkan antara karya-karya Remy itu dengan novel-novel lain yang saya baca dalam jeda yang tak berapa lama. Selain itu, mau tak mau harus saya akui, penilaian saya ini sedikit banyak terkontaminasi pula oleh bacaan novel-novel yang lain itu.

Baiklah, hal pertama yang ingin saya kemukakan adalah, bahwa dalam karya-karyanya, Remy menunjukkan kelasnya sebagai pengarang yang ulung, juga pengarang yang telah matang akan ilmu dan pengetahuan. Sangkaan ini dapat saya kemukakan melihat caranya yang berhasil dalam mengeksplorasi kisah cinta dengan berbagai alur cerita, tokoh, dan konteks sejarah, sosial, dan budaya para pelakunya yang begitu kaya. Sehingga dengan membacanya, kita tak hanya disuguhkan kisah menarik, njlimet, dan kadang sok misterius dari perjalanan cinta sang tokoh, tetapi yang tak kalah penting juga adalah sisipan dan selipan pengetahuan mengenai hal ihwal yang melatari kisah cinta tersebut.

Dalam empat novel yang saya baca, setidaknya ada beberapa karnaval pengetahuan yang coba disisipkan oleh Remy, yaitu pengetahuan mengenai sejarah (terutama sejarah kota), karnaval puisi dan lagu (terutama puisi dan lagu-lagu klasik), peribahasa (baik lokal/daerah, nasional, maupun mancanegara), serta tentu saja pemilihan diksi-diksi klasik.

Saya katakan “karnaval” karena tidak banyak pengarang yang menyengaja menyisipkan hal-hal semacam itu, dan sebab itu membaca karya Remy terkadang terasa ganjil. Misalnya, saya mulanya kurang sreg dengan tebaran cuplikan-cuplikan puisi Timur Tengah dalam percakapan antar-tokoh dalam Kerudung Merah Kirmizi. Begitu juga pameran judul dan bait-bait lagu klasik (yang tentu saja dari Barat) yang saya tidak kenal karena minimnya minat dan pengetahuan musik saya.

Tetapi sebaliknya, saya merasa sangat senang jika ada sisipan pengetahuan sejarah yang ia sematkan pada nama-nama bangunan (asal muasalnya), asal muasal sebuah bangsa, asal muasal bahasa dan diksi, dan lain-lain.

Dari karnaval pengetahuannya itu, saya menangkap kesan bahwa Remy adalah salah satu pengarang yang mencoba “memaksakan” kehendaknya (baca: pengetahuan) kepada khalayak pembacanya.

(Atau jangan-jangan memang setiap pengarang memiliki ciri demikian? Ah, sepertinya tidak, sebab ada juga pengarang yang tipenya nyelebritas, alias mengikuti maunya pembaca).

Yang amat tampak dan paling menarik bagi saya adalah pemilihan diksi-diksi klasik yang digalinya dan dituturkannya kembali ke dalam narasi kontemporer prosa-nya. Diksi-diksi klasik itu (semula saya mencatatnya, tetapi setelah lebih dari 50 kata saya jadi malas, hehe...) sebagian besar berasal dari bahasa Arab (bahasa yang semula banyak menginfiltrasi bahasa Melayu), selain juga dari bahasa Jawa serta bahasa daerah lainnya.

Ambil contoh misalnya “mustahak”, “azmat”, “nudub”, “misbah”, “mudigah”, dan lain-lain. Selain dari bahasa Arab, ada juga dari bahasa Jawa, misalnya “yuwana”, “nugraha”, “driya”, dan “prayojana”. Kata yang terakhir ini (saya tak tahu pasti apakah benar dari bahasa Jawa/Sansekerta) diusulkan dan dipraktekkan langsung ke dalam prosa-nya oleh Remy untuk mengganti kata berbahasa Inggris trend setter. (Untuk arti dari kata-kata yang lain mohon maaf saya tidak paham secara pasti, hehe).

Nah, pertanyaannya, ada apa gerangan kok Remy (dalam karya-karyanya itu) secara sengaja mengampanyekan diksi-diksi klasik tersebut?

Mungkin saja ini bagian dari eksplorasinya sebagai pengarang. Dan, tentu saja mungkin juga untuk menunjukkan kepiawaiannya memilih kemudian menyisipkan kata-kata klasik itu tanpa mengurangi kenyamanan menarasikan dialog atau jalan ceritanya. Dan memang, berbeda dengan kesan saya mengenai karnaval pengetahuan ihwal musik atau puisi, saya merasa kemunculan diksi-diksi “aneh” tersebut terasa lebih pas, meskipun itu tadi, saya juga tak mengetahui secara pasti, kecuali mereka-reka dari konteks kalimatnya.

Tetapi alasan yang lebih tepat menurut saya adalah visi kepengarangan Remy yang mengantarkan ia pada keyakinan untuk mengeksplorasi kata-kata klasik itu ke dalam karyanya. Maksud saya, ada dorongan untuk memaksakan kepada pembaca supaya memamah atau setidaknya membaui kata-kata yang saat ini sudah tak lazim lagi digunakan.

Sebagai seorang penafsir bahasa, dan juga praktikus (lawan dari kritikus) dalam mengarang puisi dan prosa, Remy nampak intens sekali memperjuangkan apa yang ia sebut sebagai estetika bahasa. Keindahan dalam cara menuturkan dan melafalkan bahasa. Dan ia, sebagai praktikus, memilih media puisi dan prosa dalam menerapkannya. Terasa benar dalam prosa-prosa yang saya sebut di muka tadi, caranya menyisipkan kata-kata klasik itu dalam tuturan yang kontemporer, menggelitik para pembacanya untuk mencari apa maknanya.

Tapi sayangnya, bukannya mempermudah, Remy malah membiarkan pembaca kebingungan sendiri. Ia tak menyajikan arti harfiah sebagai keterangan pelengkap. Coba saja ada semacam glosarium, mungkin itu akan mempermudah pembaca mengetahui secara pasti apa makna kata-kata klasik itu. Tapi sudah saya katakan tadi, Remy mungkin pengarang yang masuk tipe memaksakan kehendak, hehe... (jadi, jarke wae... hahahaha).

Di Antara Novel-novel (dari Pengarang) Lain

Sudah saya katakan bahwa sebelum membaca karya-karya Remy, saya telah membaca beberapa novel lain. “Telah membaca” di sini maksudnya jeda antara membaca novel-novel lain dengan novel-novel Remy tak begitu lama, sehingga kesan masing-masing novel masih cukup kuat membekas. Dan apa yang telah saya kemukakan, sedikit banyak merupakan perbandingan juga dengan novel-novel dari pengarang lain itu. Namun demikian, ada beberapa perbandingan kecil antara karya Remy dengan novel lainnya yang dapat saya tambahkan di bawah ini.

Pertama dengan Perahu Kertas. Novel ini juga bercerita tentang “cinta sejati”, dan sama-sama dibuat dengan alur agak njlimet. Tetapi, tentu saja, karena konteks cerita yang dibuat Dee adalah kekinian (sekitar tahun 2000an), maka pengetahuan sejarah yang disisipkannya amat minim. Begitu juga dengan pilihan-pilihan diksinya, tidak banyak (atau malahan mungkin tidak ada) diksi klasik yang dituturkan kembali di dalam Perahu Kertas.

Kendati dua hal ringkas ini seolah-olah menyurukkan penilaian saya atas Perahu Kertas, namun sejatinya novel yang satu ini tetap memiliki kesan tersendiri bagi saya : Dee memang penulis handal! Caranya bercerita, selain bagus dan kadang kocak, juga makin meneguhkan apa yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam pengantar Filosofi Kopi, bahwa Dee adalah tangkisan, tangkisan atas anggapan sastrawangi (sastra yang mengumbar selangkangan belaka). Ya, kesimpulan ini menutup pembacaan saya atas Perahu Kertas, bahwa Dee dengan cantik menghindari pengumbaran seks di dalam karyanya (bandingkan misalnya dengan pengarang perempuan lainnya).

(Apakah karena ia seorang penganut Buddha dan pelaku olah Yoga yang niscaya memiliki ketenangan batin sehingga mendorongnya melahirkan tulisan yang “resik”? entahlah...).

Kedua dengan Desersi. Desersi ini oleh Paralaer, pengarangnya, disebut sebagai ethnograpische roman, maksudnya roman berlatar etnografis. Dan benar, latar cerita di Pulau Kalimantan dipenuhi dengan berbagai macam informasi mengenai alam, sejarah, dan budaya masyarakat lokal Kalimantan (terutama Dayak dan kemudian juga Melayu). Kesamaannya dengan Remy, menurut saya, caranya merangkum apa yang diketahui dan ingin ditularkan kepada pembacanya sama-sama piawai. Tentu saja informasi tersebut didapat dengan jalan riset; Remy mungkin riset pustaka, sementara Paralaer riset lapangan karena ia bekas tentara Belanda.

Dengan imbuhan berbagai pengetahuan itu, lagi-lagi dapat dikampanyekan bahwa dengan membaca novel kita tidak hanya dapat meresapi alur cerita dan karakter tiap-tiap tokohnya, melainkan juga memperoleh pengetahuan tambahan berdasarkan konteks cerita. Dalam hal ini, saya mencoba membandingkan apa yang pernah saya anggap sangat membosankan dalam pelajaran Sejarah semasa sekolah menengah, yaitu menghafal. Sebagai anak dengan bakat pelupa, tentu saja menghafal adalah momok. Jangankan tahun-tahun penting, nama-nama tokoh dan pelaku sejarah lokal, nasional, atau bahkan dunia saya sering lupa.

Tetapi dengan membaca novel, kita dapat menyisipkan pengetahuan sejarah tertentu dengan mudah dalam ingatan kita, sebab ada kesan khusus yang mampu memperkuat ingatan tersebut. Ambil misal, setelah membaca trilogi Rara Mendut-nya Romo Mangun, selain tentu saja dapat meresapi keganasan Sultan Agung dan kebiadaban Amangkurat, kita dapat segera tahu (meskipun sedikit) tentang sejarah Mataram Islam.

Dan jika ingin menyelidiki lebih jauh (ini biasanya langkah berikutnya dari seorang korban penasaran karena membaca novel), si pembaca dapat mencari info lebih jauh tentang sejarah (misalnya dari buku lain atau dengan mengunduh harta karun mbah Google), atau bisa juga berkunjung ke situs-situs yang diulas dalam cerita (kebetulan saya pernah ke kompleks Plered bersama Iid dan Arya untuk napak tilas, meskipun hanya menjumpai puing-puing masjid dan makam Ratu Malang yang mengenaskan, hehe...). Sumpah! Dengan cara macam ini, pelajaran sejarah jadi tak membosankan, hehe...

Nah, terakhir antara Pram dan Remy... Hal pertama yang membedakan karya-karya yang dihasilkan oleh dua pengarang ini adalah tema cerita. Pram, menurut saya, selalu mengetengahkan kisah-kisah yang bertitik tolak pada persoalan kemanusiaan. Sementara Remy, dari beberapa novel yang saya sebut tadi selalu ingin mengolah cerita mengenai relasi percintaan. Ujung-ujungnya adalah menemukan cinta sejati!

Lantas, apakah cinta bukan persoalan kemanusiaan? Memang, cinta juga merupakan persoalan kemanusiaan, dan sebaliknya dalam banyak persoalan kemanusiaan yang dikisahkan Pram tak jarang juga menampilkan kisah percintaan. Tetapi, menurut saya pribadi, ada titik tekan atau pelatuk yang berbeda antara visi kepengarangan Pram dan Remy, bahwa Pram kentara berpihak kepada kemanusiaan, apapun dan bagaimanapun caranya (baik melalui cerita tentang relasi percintaan, relasi anak-bapak, relasi tuan-gundik, dan lain-lain), sementara Remy kebanyakan berkutat pada ihwal menemukan cinta sejati (meskipun di dalamnya juga diketengahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang lain).

Nah, sebagai sesama kampiun, tidak usah disebutkanlah jika keduanya juga piawai memanfaatkan dan menafsirkan sumber sejarah, serta memaksimalkan pengetahuan bahasa mereka ke dalam cara bertutur prosanya.

Kesimpulan tentang perbedaan titik tolak cerita Pram dan Remy tersebut turut mempengaruhi jawaban saya jika ada pertanyaan apakah lebih bagus Pram atau Remy. Tentu pribadi saya menjawab Pram. Tetapi itulah, jawaban Pram yang mendahului Remy tidak membuat gugur penilaian saya bahwa Remy juga amat sangat piawai. Artinya, saya akan tetap tertarik membaca karya Remy yang lain, hehe...

Demikianlah, tulisan ini mungkin lebih banyak promosinya ketimbang telaah kritis atas karya. Supaya jika ada yang belum membaca karya Remy, monggo dipun diwoco... hehe... Maaf... Namanya juga pembaca biasa yang tidak pernah belajar analisis sastra. Namanya juga iseng... hehe...

Akhirul kalam... wallahua’lam...

[membaca-menulis apa saja dalam masa menunggu kepastian:]

Pelesir Sejarah Bersama (Karya) Romo Mangun

Lukman S.

Romo Mangun. Sumber: http://id.wikipedia.org
Mengenang 80 tahun kelahiran mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau biasa disapa Romo Mangun yang jatuh pada 06 Mei lalu, membuat saya teringat trilogi novel Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang diterbitkan ulang ke dalam satu bundel buku oleh Gramedia (2008). Lewat tiga novel karya Romo Mangun tersebut, saya ingin mengatakan bahwa tokoh besar ini tak hanya meninggalkan jejak dalam memperjuangkan kemanusiaan melalui karya sastra atau tindakan nyata, maupun seni arsitektur khas yang dipraktekkan ke dalam banyak karya bangunannya, tetapi beliau juga menghasilkan karya fiksi sejarah yang dapat dinikmati dan ditelusuri melalui pelesir sejarah situs-situs Kerajaan Mataram Islam.
Ketika booming novel Rahasia Meede karta ES Ito yang terbit 2007 lalu, para penggemar novel ini mengadakan jelajah jejak sejarah Rahasia Meede. Cukup menarik memang, mencoba menghayati fiksi sejarah dengan turun langsung melihat situs-situs yang menjadi setting dalam novel tersebut. Situs sejarah yang diulas dalam Rahasia Meede sebagian besar berada di Jakarta, seperti Museum Fatahillah (Stadhuisplein), Monumen Pieter Erberveld, Dasaad Musin Building, Gereja Sion, Monumen Nasional (Monas), hingga Pulau Onrust yang merupakan pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Seribu.
 Hal yang sama sebetulnya dapat dilakukan setelah membaca karya Romo Mangun. Dalam trilogi Rara Mendut yang melukiskan masa kejayaan Sultan Agung dan kemunduran Amangkurat I yang penuh intrik, kisah asmara, dan pembantaian, kita dapat menghayati situs-situs peninggalan Mataram Islam yang hampir semuanya berada di DI Yogyakarta. Melalui novel itu, kita seolah diajak untuk mengenang sejarah Mataram Islam yang lahir dan dibesarkan tidak dengan jalan mulus, melainkan meliuk-berliku, dan tak jarang terperosok ke dalam jurang percintaan terlarang.
Pelesir situs sejarah ini dapat dimulai di Kotagede, bekas pusat pemerintahan Mataram Islam pada masa Panembahan Senopati (raja pertama), Panembahan Hanyakrawati (raja kedua), hingga awal pemerintahan Panembahan Hanyakrakusuma (Sultan Agung, raja ketiga) yang kemudian membangun keraton baru di Kerta, sekitar 7 km arah Selatan Kotagede. Hingga kini, Kotagede masih menunjukkan nuansa sebagai kota kuno dengan keberadaan Pasar Legi, Masjid Agung Mataram, serta Makam Raja-raja Mataram Kotagede.
Memang, di tempat ini wujud bangunan keraton dan alun-alun sebagai penanda pusat kerajaan khas Jawa tidak ditemukan lagi, karena telah menjelma menjadi pemukiman penduduk. Namun, mengunjungi masjid dan kompleks makam, kita serasa diajak untuk membayangkan kebesaran kerajaan Mataram Islam di masa lalu: sebuah kerajaan yang memadukan peninggalan lama ajaran Hindu-Buddha dan kerajaan model baru bercorak Islam. Garis silsilah yang dirunut sampai pendiri Kerajaan Singasari, Ken Arok, yang tertera di tempat abdi dalem di kompleks makam ini, menandakan imaji tentang keberlanjutan kerajaan Jawa yang besar dan masyhur pada masa lalu, sebelum kedatangan Islam.
Dikisahkan dalam trilogi Romo Mangun, Makam Kotagede ini merupakan lokasi pertemuan rahasia antara Putri Arumardi (selir Tumenggung Wiraguna) dan Encik Khudori (pedagang Emas di Pasar Kotagede) untuk menyelamatkan Putri Tejarukmi (selir muda Wiraguna) yang dikejar-kejar Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Agung yang kelak bergelar Amangkurat I. Tejarukmi inilah yang menjadi sumber pertikaian Amangkurat I dan Tumenggung Wiraguna, di mana akhirnya Wiraguna diracun dalam perjalanan tugas menaklukkan negeri Blambangan di ujung Timur Pulau Jawa.
Situs lainnya yang letaknya berdekatan adalah Keraton Kerta dan Keraton Plered, keduanya kini terletak dalam satu kecamatan di Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan Plered (sekitar 11 km arah Selatan Kota Jogja). Tidak seperti Kotagede yang sampai sekarang masih menjadi kawasan penting, terutama karena situs sejarah dan kerajinan peraknya, Plered dan Kerta kini hanya sebuah perkampungan yang sepi. Pada masa Sultan Agung, sekitar 1625, Kerta mulai dibangun sebagai pusat pemerintahan baru. Keraton Kerta digunakan hingga masa awal Amangkurat I, Susuhunan Mataram yang konon enggan memakai gelar Sultan sebagaimana ayahnya, karena begitu benci kepada kaum santri.
Amangkurat I membangun istana baru di Plered dengan konsep yang sama sekali baru, yaitu kompleks keraton yang dikelilingi parit-parit raksasa, sehingga istananya nampak mengapung di atas danau buatan. Dalam tafsiran Romo Mangun (hlm. 739), setelah berbagai tindakan keji atas kaum santri (membantai sekitar 6.000 kaum santri dan keluarganya) dan ancaman pemberontakan dari kalangan kerabat istana, jiwa Amangkurat makin terancam. Ia lantas membangun parit pertahanan yang ditiru dari bangsa Belanda di Betawi yang gemar membuat kanal.
Sumber: http://kumpulanfiksi.wordpress.com
Istana Kerta dan Plered berada di sisi timur Jalan Yogya-Imogiri. Kini, dua bekas istana tersebut hanya menyisakan bekas alas-alas tiang (umpak) istana. Di bekas Istana Plered yang kini berada di Desa Ndaton (Keraton), masih bisa dijumpai sebuah pohon beringin besar yang mungkin dahulu merupakan halaman istana dengan hamparan fondasi bata merah seluas + 15 meter persegi. Seperti diberitakan oleh Kompas (Senin, 04/05/09), kompleks Keraton Plered saat ini sedang diteliti dan rencananya akan dibangun sebagai kompleks Museum Situs (Site Museum) yang menceritakan perjalanan Mataram di bawah Amangkurat I.
Pemerintahan Amangkurat I memang menyimpan kisah-kisah kontroversial. Selain pembunuhan ribuan kaum santri dan percintaan terlarang dengan Puteri Tejarukmi, Romo Mangun juga menggambarkan Amangkurat I sebagai raja yang “sakit”. Puncak “kesakitan” Amangkurat I digambarkan dengan amat mendebarkan dalam novel Romo Mangun (hlm. 757), ketika Sang Susuhunan “meniduri” mayat selir kesayangannya, Ratu Malang, yang telah dikubur selama tiga hari di Gunung Kelir, sebuah bukit di Selatan Keraton Plered.
Ratu Malang adalah selir kesayangan Amangkurat I. Semula ia adalah istri dalang Ki Dalem Panjang Mas, yang dibunuh dan kemudian direbut istrinya untuk diboyong ke istana. Ia dijuluki Ratu Malang, karena setiap malam konon sang selir kerap menangis meratapi kemalangannya. Seolah melengkapi kisah kemalangannya itu, sang ratu akhirnya meninggal akibat diracun. Amangkurat marah besar dan membunuh para dayang sang ratu karena dianggap bersekongkol, dan membangun sebuah makam khusus di Gunung Kelir. Makam ini masih sering dikunjungi para peziarah untuk ngalap berkah.
Makam Ratu Malang. Sumber: http://arkeologijawa.com
Situs lainnya yang memiliki benang merah dengan kisah Ratu Malang adalah Makam Banyusumurup, letaknya sekitar 2 kilometer dari Makam Raja-raja Imogiri. Berbeda dengan Makam Imogiri, Makam Banyusumurup khusus dibuat bagi mereka yang dianggap membangkang pada Susuhunan. Pangeran Selarong, misalnya, paman Amangkurat I yang dikenal ahli membuat racun dituduh memberikan racun paling mematikan untuk membunuh Ratu Malang. Akibatnya, sang pangeran dibunuh dan dikebumikan di Makam Banyusumurup.
Selain Pangeran Selarong, di kompleks Makam Banyusumurup juga ada makam Pangeran Pekik dan keluarganya, yang dituduh melindungi perselingkuhan Adipati Anom (putera mahkota) dengan calon selir Susuhunan Amangkurat I yang masih belia, Rara Oyi. Pangeran Pekik merupakan mertua Susuhunan dan kakek dari sang Adipati Anom (kelak Amangkurat II). Perselisihan karena cinta terlarang ini kelak berujung pada perebutan tahta secara diam-diam oleh Adipati Anom, dengan cara bersekongkol dengan Trunajaya dari Madura untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan Trunajaya inilah yang mampu memporak-porandakan keraton dan memaksa Amangkurat I mengungsi, hingga meninggal di Tegalarum (di dekat Kab. Tegal).

Karya Romo Mangun ini memang nampak sebagai upaya kreatif pengarangnya untuk memberikan gambaran yang jitu tentang penegakan kekuasaan yang kerap meminta tumbal. Memang, sebuah fiksi sejarah acap kali melampaui tafsiran ilmiah atas peristiwa sejarah itu sendiri. Namun, membaca novel ini, lalu berpelesir mengunjungi bekas-bekas peninggalan Sultan Agung dan Amangkurat I, membuat kita merenung: kekuasaan yang dibangun atas dasar nafsu dan angkara murka, hanya akan segera menemui kekalahannya. []
  _____________________
* Pernah diterbitkan oleh Kompas Jogja, 28 Mei 2009
** Sekali lagi, terima kasih untuk Khidir Iid  Marsanto yang bermurah hati meminjamkan buku ini waktu proses khataman di tahun 2009 itu.

Jejak Cerita Wisata Matatita

Lukman S.
 
Mengambil foto jejak kaki di Keraton Solo:)
“Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.”

Begitulah semboyan para pelancong dunia, yang mengajarkan moral menikmati tamasya tanpa harus merusak tempat-tempat yang dikunjunginya. Tetapi, ada satu hal yang luput dari semboyan ini, yakni “jangan lupa menulis setelah berwisata”. Usai mengunjungi tempat-tempat eksotis, menyelami sejarah dan budaya masyarakat yang ramah dan mengesankan, pengalaman tersebut tentu patut untuk diceritakan. Semboyan itulah yang mendasari terbitnya buku Tales From the Road karya Matatita, seorang traveller dari Yogyakarta, juga penulis blog yang aktif, yang mencoba merekam jejak wisatanya dengan menulis catatan perjalanan.

Membaca buku ini, kita disuguhkan perspektif berwisata yang luas. Penulisnya tidak hanya membatasi cerita liburan yang lazim dianggap sebagai aktivitas berwisata, tetapi juga kegiatan lain yang sifatnya “biasa-biasa” saja, misalnya kegiatan penelitian dari kampus, Kuliah Kerja Nyata (KKN), kunjungan kerja ke daerah-daerah, hingga undangan mantenan. Berwisata tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas liburan atau perjalanan khusus untuk bersenang-senang. Berwisata adalah upaya menghibur diri dengan menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan alam, benda, dan masyarakatnya.

Interaksi, itulah kata kunci dalam buku ini. Melalui interaksi dengan alam, benda-benda, dan masyarakat, penulis buku ini menangkap berbagai kesan yang sifatnya subjektif, tetapi jujur. Perjumpaan tersebut kemudian mengendap, diresapi sebagai pengalaman individu sekaligus sosial, karena setiap tempat, benda, dan masyarakat berada dalam lingkup dunia sosial. Di sini, pariwisata tidak hanya bernilai karena segi ekonomi dan hiburan semata, tetapi juga berharga karena dilambari interaksi sosial para pelakunya.

Tidak mengherankan jika Kees Bertens menggarisbawahi bahwa dunia pariwisata, selain memiliki dimensi ekonomi, juga dilekati dimensi moral karena memungkinkan komunikasi antar-bangsa. Berbeda dengan komunikasi politik internasional, komunikasi yang terjalin melalui dunia pariwisata berjalan lebih luwes, rileks, dan nyaman, serta berlangsung dalam skala yang besar dan masif. Pendek kata, melalui komunikasi tersebut, dunia pariwisata mampu berperan menyusutkan purbasangka serta membuka pemahaman mengenai keberagaman kehidupan sosial-budaya di daerah lain.

Perjumpaan dengan “Yang Lain”
Ada beberapa catatan Matatita mengenai perjumpaan dengan masyarakat dan budaya lain. Salah satunya ketika ia diangkat anak oleh keluarga Dayak di pedalaman Kalimantan Timur. Saat itu, ia tinggal bersama orang-orang Dayak di rumah Lamin, rumah khas orang Dayak. Suatu ketika “penyakit” bulanannya kambuh, yaitu sakit tak tertahankan menjelang datang bulan yang membuatnya jatuh pingsan. Peristiwa tersebut ternyata dimaknai sebagai gangguan wok bengkar (roh halus penghuni hutan), sehingga untuk menangkalnya harus dilakukan ritual khusus.

Namun, karena Matatita menolak dengan alasan penyakitnya adalah penyakit biasa, akhirnya keluarga Dayak tersebut menawarkan solusi bijak: mengangkatnya sebagai anak. Ini supaya roh halus tidak mengganggunya lagi. Setelah dilakukan upacara sederhana, dibacakan mantra-mantra khusus, dan wajahnya diolesi tepung, maka resmilah ia menjadi wong ndayak. Peristiwa ini membuat Matatita sadar, bahwa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Perjumpaan dengan masyarakat di luar negeri, membuat penulis buku ini maklum bahwa menjadi orang Indonesia belum tentu dikenal di negeri orang. Pangkal salah paham itu bermula dari wajah, yang membuatnya “dituduh” sebagai bukan orang Indonesia. Saat berkunjung ke Hongkong ia dikira warga Filipina, di Thailand dipersepsi orang Thai, dan di Nepal dianggap orang Malaysia. Itulah mengapa ketika berbelanja suvenir atau bertemu dengan masyarakat setempat, Matatita seringkali harus mengeja nama I-n-d-o-n-e-s-i-a, meskipun nama itu tidak dikenal juga. Identitas diri, dalam hal ini wajah dan kebangsaan ternyata tak selalu diketahui secara jelas oleh orang-orang di negara lain.

Pengalaman lain yang juga menarik adalah kunjungannya ke Kota Agats, kota suku Asmat yang dibangun di atas rawa. Jalan penghubung kota ini adalah jalan papan selebar 1,5 meter. Dari dermaga menuju kantor-kantor pelayanan publik, ditempuh dengan berjalan kaki menelusuri jalan papan tersebut. Kendati jauh dari gambaran sebagai kota modern, jalan-jalan di Kota Agats tetap menggunakan nama pahlawan selayaknya kota-kota lain di Indonesia, seperti Jalan Yos Sudarso, Ahmad Yani, dan Sultan Hasanuddin. Melalui tulisan ini kita tahu, pembangunan dan otonomi daerah belum mampu menjangkau kemakmuran hingga pelosok-pelosok Indonesia.

Berpelesir ke berbagai tempat juga memberi pengetahuan mengenai berbagai moda transportasi yang digunakan serta perilaku para pengendaranya. Contohnya di kawasan Indonesia Timur yang memiliki angkot unik, karena dilengkapi dengan pemutar musik dan layar monitor. Para pengendara angkot ini berlomba menjadikan kendaraannya hingar bingar untuk menarik minat penumpang. Ada juga soal becak di Kota Ambon yang membuat jalanan menjadi padat dan macet. Sementara pengendara becak di Yogyakarta dan Tuktuk di Bangkok, umumnya merangkap sebagai calo. Mereka mengantarkan wisatawan ke toko-toko suvenir dengan imbalan dari pemilik toko jika wisatawan jadi berbelanja.

Selain rekaman mengenai berbagai kesan dan pengalaman bersentuhan dengan tempat-tempat dan budaya lain, buku ini juga menyajikan beberapa petunjuk (tips) untuk mempersiapkan perjalanan wisata. Beberapa yang sangat urgen adalah menentukan tempat tujuan wisata, memesan tiket pesawat dan penginapan, mengontak teman atau calon teman yang bersedia menyediakan tumpangan, serta mempelajari kebiasaan dan event budaya di tempat yang akan dikunjungi.

Langkah praktisnya adalah membuka jaringan melalui dunia maya (travel online). Informasi mengenai destinasi serta berbagai akomodasi dan transportasi gratis atau dengan biaya murah dapat ditemukan melalui internet. Selain menginap di hotel, pilihan yang tak kalah seru adalah menginap di rumah para traveller lokal yang bersedia menjadi tuan rumah (host). Penelusuran ini dapat dilakukan melalui situs-situs komunitas traveller dunia. Di samping memperoleh tumpangan gratis, dengan menginap di rumah penduduk lokal tentu dapat mendalami kebiasaan serta cara hidup mereka. Jika beruntung, mereka juga bisa menjadi pemandu ke berbagai tempat atau event wisata di daerah tersebut.

Menikmati buku ini, kita akan memperoleh pengertian bahwa seorang pelancong adalah juga penikmat keunikan dan keberagaman. Selain mampu menyimpulkan perbedaan eksotisme alam, sejarah, dan budaya, seorang pelancong selayaknya juga mampu menarik garis pemahaman bahwa berwisata adalah aktivitas mengunjungi untuk “mengalami” keberagaman, juga menghormati perbedaan.[]

_______________________
Judul     : Tales From the Road: Mencicip Keunikan Budaya dari Yogyakarta hingga Nepal
Penulis     : Matatita
Penerbit    : B-first (PT Bentang Pustaka), Juni 2009
Halaman   : xii + 234 hlm

Membangun "Ruang Baca" ala John Wood

Lukman S.

Ada semacam kepercayaan umum para penderma dewasa ini, bahwa memberikan “kail” adalah tindakan lebih tepat lagi bijak ketimbang memberikan “ikan”. “Ikan” hanya akan mengenyangkan penerimanya dalam satu waktu, mungkin sehari, dua hari, atau satu bulan. Dan itu artinya akan menciptakan ketergantungan. Berbeda jika yang diulurkan adalah “kail”, yakni alat atau perangkat yang berfungsi untuk menangkap “ikan-ikan”, sehingga dapat memenuhi kebutuhan penerimanya dalam jangka panjang.

Analogi ini mungkin tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh John Wood, eksekutif di salah satu perusahaan nomor wahid dunia, Microsoft. Buku ini pertama kali diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan judul Leaving Microsoft to Change the World oleh Bentang Pustaka pada Agustus 2007. Terbitan edisi baru, April 2009, oleh penerbit yang sama diganti judulnya menjadi Room to Read, merujuk pada nama organisasi nirlaba yang dibangun John untuk mendirikan sekitar 7.000 perpustakaan. Judul ini lebih mewakili semangat John, yakni membuka cakrawala pengetahuan anak-anak usia sekolah di dunia ketiga. Judul tersebut juga ditegaskan melalui gambar sampul yang tepat, di mana John dikerubuti anak-anak yang berebut menggapai buku.

John Wood memutuskan hengkang dari Microsoft untuk memulai babak baru dalam hidupnya demi mengobati luka lama dunia: minimnya keterbacaan atas pengetahuan. Ya, di tengah pesatnya globalisasi melalui media elektronik, ada kelompok-kelompok masyarakat yang ternyata belum tersentuh peradaban Guttenberg. Ada sekitar 850 juta penduduk bumi yang belum melek literasi, alias buta baca-tulis sederhana, dan sekitar dua pertiga di antaranya adalah kaum perempuan. Bagi seorang berkebangsaan Amerika, berpendidikan tinggi, dan mencapai jenjang karier sebagai eksekutif pemasaran Microsoft di Sydney dan Cina, angka-angka itu sungguh membuatnya pusing (hlm.33).

Tetapi, kepusingan atas ketersediaan sekolah dan perpustakaan yang tak memadai tidak muncul begitu saja. John semula menemukan realitas menyedihkan itu di Nepal, dalam pelancongannya selama 21 hari menuju Pegunungan Himalaya. Ketika di Nepal itu, secara tak sengaja ia bertemu pengurus pendidikan bernama Pasupathi. Orang ini begitu gigih, berjalan kaki bermil-mil jauhnya setiap hari untuk mengunjungi sekolah-sekolah, memantaunya, dan memberikan bantuan sekedarnya. John tertarik untuk mengunjungi salah satu sekolah di Desa Bahundanda. Bersama Pasupathi, ia melihat bagaimana kondisi bangunan yang disebut “sekolah” itu. Kondisinya tak lebih baik sebagaimana penggambaran Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi.

John pun menyaksikan salah satu ruangan dengan papan bertulis “Perpustakaan” di depannya. Papan itu nyatanya hanya sebuah petunjuk “sesat”, sebab di dalamnya tak ada meja, kursi, atau rak-rak berisi penuh buku-buku. Hanya ruang kosong dengan dinding dilapisi peta dunia. Di akhir perjumpaannya dengan kepala sekolah dan guru-guru, ia berjanji: tahun depan ia akan kembali dengan membawa buku-buku. Entah seratus, seribu, atau puluhan ribu untuk memenuhi kebutuhan siswa-siswa yang malang itu. Dan John tak hanya kembali dengan buku-buku, melainkan keputusan penuh untuk memberdayakan sektor pendidikan di Nepal (kelak proyeknya berkembang menjangkau Vietnam, Kamboja, India, Sri Lanka dan negara berkembang lainnya).

Dalam perjalanan pulang ke Sydney, ia sempatkan mampir di warung internet untuk menuliskan email kepada kerabat dan relasinya, meminta bantuan mereka untuk menyumbangkan buku. Tanpa dinyana, gayung surat elektronik itu bersambut. Relasi-relasinya bukan hanya menyumbang buku dan uang, tetapi juga menyebarkan email permintaan bantuan itu kepada relasi-relasi mereka. Dalam tempo sebulanan, ribuan buku terkumpul, sehingga pengiriman buku pertama pun dapat dilakukan.

Tak lama berselang setelah pengiriman buku-buku tersebut, John dipindahkan ke Beijing, Cina. Posisinya sebagai salah satu eksekutif senior ternyata tak mampu membuatnya nyaman. Pesan moral Dalai Lama dalam The Art of Happiness, bahwa manusia cenderung mencari kebahagiaan dan akan memperolehnya jika membagi apa yang dimilikinya, begitu membayanginya. Dalai Lama mengajarkan moral sebagaimana dipahami olah umat Islam, bahwa manusia harus mensyukuri karunia Tuhan dengan membantu kaum miskin untuk keluar dari siklus kemiskinan. Salah satu caranya melalui pendidikan (hlm.18).

Keputusan John untuk keluar dari Microsoft dan menjadi pekerja sosial tidak dilalui dengan jalan mulus. Atasannya protes atas keputusan “sepihak” itu, dan terlebih kekasihnya (perempuan cantik dengan lompatan karier yang menawan pula) harus ia tinggalkan. John memang sempat kehilangan arah, sebelum akhirnya memberikan makna mendalam atas keputusannya itu: apa yang selama ini ia raih tak ada artinya dibanding jutaan anak usia sekolah yang tak mampu mengecap pendidikan layak.

John seperti membenarkan kritik Pierre Bourdieu, bahwa kesenjangan global bermula dari habitus, modal, dan ranah yang berbeda-beda. John merangkumnya dalam kata-kata: “Berapa juta anak tak akan mempunyai kesempatan yang saya miliki dalam hidup, hanya karena mereka ditolak oleh pendidikan pada usia muda? Seakan-akan di sana ada ‘lotere kehidupan’. Pada usia muda, anak-anak secara sewenang-wenang dianggap pemenang atau pecundang, berdasarkan tempat lahir mereka. Anda lahir di Scarsdale, Anda menang. Anda lahir di Bogota, Anda kalah” (hlm.49).

Catatan itu begitu menarik dan menusuk jantung realitas kita hari ini. Seseorang yang lahir di Jakarta atau di Jawa (dan tentu saja dari keluarga berkecukupan), dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas, dan karena itu masa depannya bisa lebih cerah dan pasti. Sementara mereka yang lahir di luar Jawa, atau mereka yang berasal dari keluarga miskin di mana pun di pelosok negeri ini, harus puas dengan sekolah-sekolah ala Laskar Pelangi, atau bahkan tidak bersekolah sama sekali. Bagaimana mereka dapat turut dalam roda pembangunan, jika “membaca saja, sulit”?

Nepal memang bukan Indonesia. Tetapi, banyak sekolah-sekolah dasar di negeri ini yang tak layak disebut sekolah. Alih-alih memiliki gedung perpustakaan yang lengkap koleksi dan jejaring elektronisnya (internet), sebagian besar kondisi sekolah-sekolah di pelosok negeri ini masih jauh dari layak. Belum lagi soal kuantitasnya, yang mana gambaran idealnya tiap desa atau kampung minimal memiliki satu sekolah dasar sebagai pemenuhan kebutuhan dasar warga negara.

Sudah saatnya kita pertimbangkan: mungkin bukan lagi hanya sodaqoh uang untuk fakir miskin, tetapi juga sodaqoh sekolah atau sodaqoh buku, supaya pendidikan dan keterbacaan akan pengetahuan tak hanya dimiliki kaum yang cukup. Karena kita percaya, pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu jalur mobilitas sosial vertikal, yang artinya untuk kesejahteraan umat manusia.[]
____________________________
Judul Buku     : Room to Read: Tinggalkan Karier di Microsoft Demi Membangun 7.000 Perpustakaan di Pelosok Dunia
Penulis          : John Wood
Penerjemah   : Widi Nugroho
Penerbit         : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetak             : April 2009
Tebal              : x + 386 halaman