Pelesir Sejarah Bersama (Karya) Romo Mangun

Lukman S.

Romo Mangun. Sumber: http://id.wikipedia.org
Mengenang 80 tahun kelahiran mendiang Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, atau biasa disapa Romo Mangun yang jatuh pada 06 Mei lalu, membuat saya teringat trilogi novel Rara Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri yang diterbitkan ulang ke dalam satu bundel buku oleh Gramedia (2008). Lewat tiga novel karya Romo Mangun tersebut, saya ingin mengatakan bahwa tokoh besar ini tak hanya meninggalkan jejak dalam memperjuangkan kemanusiaan melalui karya sastra atau tindakan nyata, maupun seni arsitektur khas yang dipraktekkan ke dalam banyak karya bangunannya, tetapi beliau juga menghasilkan karya fiksi sejarah yang dapat dinikmati dan ditelusuri melalui pelesir sejarah situs-situs Kerajaan Mataram Islam.
Ketika booming novel Rahasia Meede karta ES Ito yang terbit 2007 lalu, para penggemar novel ini mengadakan jelajah jejak sejarah Rahasia Meede. Cukup menarik memang, mencoba menghayati fiksi sejarah dengan turun langsung melihat situs-situs yang menjadi setting dalam novel tersebut. Situs sejarah yang diulas dalam Rahasia Meede sebagian besar berada di Jakarta, seperti Museum Fatahillah (Stadhuisplein), Monumen Pieter Erberveld, Dasaad Musin Building, Gereja Sion, Monumen Nasional (Monas), hingga Pulau Onrust yang merupakan pulau kecil dalam gugusan Kepulauan Seribu.
 Hal yang sama sebetulnya dapat dilakukan setelah membaca karya Romo Mangun. Dalam trilogi Rara Mendut yang melukiskan masa kejayaan Sultan Agung dan kemunduran Amangkurat I yang penuh intrik, kisah asmara, dan pembantaian, kita dapat menghayati situs-situs peninggalan Mataram Islam yang hampir semuanya berada di DI Yogyakarta. Melalui novel itu, kita seolah diajak untuk mengenang sejarah Mataram Islam yang lahir dan dibesarkan tidak dengan jalan mulus, melainkan meliuk-berliku, dan tak jarang terperosok ke dalam jurang percintaan terlarang.
Pelesir situs sejarah ini dapat dimulai di Kotagede, bekas pusat pemerintahan Mataram Islam pada masa Panembahan Senopati (raja pertama), Panembahan Hanyakrawati (raja kedua), hingga awal pemerintahan Panembahan Hanyakrakusuma (Sultan Agung, raja ketiga) yang kemudian membangun keraton baru di Kerta, sekitar 7 km arah Selatan Kotagede. Hingga kini, Kotagede masih menunjukkan nuansa sebagai kota kuno dengan keberadaan Pasar Legi, Masjid Agung Mataram, serta Makam Raja-raja Mataram Kotagede.
Memang, di tempat ini wujud bangunan keraton dan alun-alun sebagai penanda pusat kerajaan khas Jawa tidak ditemukan lagi, karena telah menjelma menjadi pemukiman penduduk. Namun, mengunjungi masjid dan kompleks makam, kita serasa diajak untuk membayangkan kebesaran kerajaan Mataram Islam di masa lalu: sebuah kerajaan yang memadukan peninggalan lama ajaran Hindu-Buddha dan kerajaan model baru bercorak Islam. Garis silsilah yang dirunut sampai pendiri Kerajaan Singasari, Ken Arok, yang tertera di tempat abdi dalem di kompleks makam ini, menandakan imaji tentang keberlanjutan kerajaan Jawa yang besar dan masyhur pada masa lalu, sebelum kedatangan Islam.
Dikisahkan dalam trilogi Romo Mangun, Makam Kotagede ini merupakan lokasi pertemuan rahasia antara Putri Arumardi (selir Tumenggung Wiraguna) dan Encik Khudori (pedagang Emas di Pasar Kotagede) untuk menyelamatkan Putri Tejarukmi (selir muda Wiraguna) yang dikejar-kejar Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Agung yang kelak bergelar Amangkurat I. Tejarukmi inilah yang menjadi sumber pertikaian Amangkurat I dan Tumenggung Wiraguna, di mana akhirnya Wiraguna diracun dalam perjalanan tugas menaklukkan negeri Blambangan di ujung Timur Pulau Jawa.
Situs lainnya yang letaknya berdekatan adalah Keraton Kerta dan Keraton Plered, keduanya kini terletak dalam satu kecamatan di Kabupaten Bantul, yaitu Kecamatan Plered (sekitar 11 km arah Selatan Kota Jogja). Tidak seperti Kotagede yang sampai sekarang masih menjadi kawasan penting, terutama karena situs sejarah dan kerajinan peraknya, Plered dan Kerta kini hanya sebuah perkampungan yang sepi. Pada masa Sultan Agung, sekitar 1625, Kerta mulai dibangun sebagai pusat pemerintahan baru. Keraton Kerta digunakan hingga masa awal Amangkurat I, Susuhunan Mataram yang konon enggan memakai gelar Sultan sebagaimana ayahnya, karena begitu benci kepada kaum santri.
Amangkurat I membangun istana baru di Plered dengan konsep yang sama sekali baru, yaitu kompleks keraton yang dikelilingi parit-parit raksasa, sehingga istananya nampak mengapung di atas danau buatan. Dalam tafsiran Romo Mangun (hlm. 739), setelah berbagai tindakan keji atas kaum santri (membantai sekitar 6.000 kaum santri dan keluarganya) dan ancaman pemberontakan dari kalangan kerabat istana, jiwa Amangkurat makin terancam. Ia lantas membangun parit pertahanan yang ditiru dari bangsa Belanda di Betawi yang gemar membuat kanal.
Sumber: http://kumpulanfiksi.wordpress.com
Istana Kerta dan Plered berada di sisi timur Jalan Yogya-Imogiri. Kini, dua bekas istana tersebut hanya menyisakan bekas alas-alas tiang (umpak) istana. Di bekas Istana Plered yang kini berada di Desa Ndaton (Keraton), masih bisa dijumpai sebuah pohon beringin besar yang mungkin dahulu merupakan halaman istana dengan hamparan fondasi bata merah seluas + 15 meter persegi. Seperti diberitakan oleh Kompas (Senin, 04/05/09), kompleks Keraton Plered saat ini sedang diteliti dan rencananya akan dibangun sebagai kompleks Museum Situs (Site Museum) yang menceritakan perjalanan Mataram di bawah Amangkurat I.
Pemerintahan Amangkurat I memang menyimpan kisah-kisah kontroversial. Selain pembunuhan ribuan kaum santri dan percintaan terlarang dengan Puteri Tejarukmi, Romo Mangun juga menggambarkan Amangkurat I sebagai raja yang “sakit”. Puncak “kesakitan” Amangkurat I digambarkan dengan amat mendebarkan dalam novel Romo Mangun (hlm. 757), ketika Sang Susuhunan “meniduri” mayat selir kesayangannya, Ratu Malang, yang telah dikubur selama tiga hari di Gunung Kelir, sebuah bukit di Selatan Keraton Plered.
Ratu Malang adalah selir kesayangan Amangkurat I. Semula ia adalah istri dalang Ki Dalem Panjang Mas, yang dibunuh dan kemudian direbut istrinya untuk diboyong ke istana. Ia dijuluki Ratu Malang, karena setiap malam konon sang selir kerap menangis meratapi kemalangannya. Seolah melengkapi kisah kemalangannya itu, sang ratu akhirnya meninggal akibat diracun. Amangkurat marah besar dan membunuh para dayang sang ratu karena dianggap bersekongkol, dan membangun sebuah makam khusus di Gunung Kelir. Makam ini masih sering dikunjungi para peziarah untuk ngalap berkah.
Makam Ratu Malang. Sumber: http://arkeologijawa.com
Situs lainnya yang memiliki benang merah dengan kisah Ratu Malang adalah Makam Banyusumurup, letaknya sekitar 2 kilometer dari Makam Raja-raja Imogiri. Berbeda dengan Makam Imogiri, Makam Banyusumurup khusus dibuat bagi mereka yang dianggap membangkang pada Susuhunan. Pangeran Selarong, misalnya, paman Amangkurat I yang dikenal ahli membuat racun dituduh memberikan racun paling mematikan untuk membunuh Ratu Malang. Akibatnya, sang pangeran dibunuh dan dikebumikan di Makam Banyusumurup.
Selain Pangeran Selarong, di kompleks Makam Banyusumurup juga ada makam Pangeran Pekik dan keluarganya, yang dituduh melindungi perselingkuhan Adipati Anom (putera mahkota) dengan calon selir Susuhunan Amangkurat I yang masih belia, Rara Oyi. Pangeran Pekik merupakan mertua Susuhunan dan kakek dari sang Adipati Anom (kelak Amangkurat II). Perselisihan karena cinta terlarang ini kelak berujung pada perebutan tahta secara diam-diam oleh Adipati Anom, dengan cara bersekongkol dengan Trunajaya dari Madura untuk melakukan pemberontakan. Pemberontakan Trunajaya inilah yang mampu memporak-porandakan keraton dan memaksa Amangkurat I mengungsi, hingga meninggal di Tegalarum (di dekat Kab. Tegal).

Karya Romo Mangun ini memang nampak sebagai upaya kreatif pengarangnya untuk memberikan gambaran yang jitu tentang penegakan kekuasaan yang kerap meminta tumbal. Memang, sebuah fiksi sejarah acap kali melampaui tafsiran ilmiah atas peristiwa sejarah itu sendiri. Namun, membaca novel ini, lalu berpelesir mengunjungi bekas-bekas peninggalan Sultan Agung dan Amangkurat I, membuat kita merenung: kekuasaan yang dibangun atas dasar nafsu dan angkara murka, hanya akan segera menemui kekalahannya. []
  _____________________
* Pernah diterbitkan oleh Kompas Jogja, 28 Mei 2009
** Sekali lagi, terima kasih untuk Khidir Iid  Marsanto yang bermurah hati meminjamkan buku ini waktu proses khataman di tahun 2009 itu.

0 komentar:

Posting Komentar