Jejak Cerita Wisata Matatita

Lukman S.
 
Mengambil foto jejak kaki di Keraton Solo:)
“Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.”

Begitulah semboyan para pelancong dunia, yang mengajarkan moral menikmati tamasya tanpa harus merusak tempat-tempat yang dikunjunginya. Tetapi, ada satu hal yang luput dari semboyan ini, yakni “jangan lupa menulis setelah berwisata”. Usai mengunjungi tempat-tempat eksotis, menyelami sejarah dan budaya masyarakat yang ramah dan mengesankan, pengalaman tersebut tentu patut untuk diceritakan. Semboyan itulah yang mendasari terbitnya buku Tales From the Road karya Matatita, seorang traveller dari Yogyakarta, juga penulis blog yang aktif, yang mencoba merekam jejak wisatanya dengan menulis catatan perjalanan.

Membaca buku ini, kita disuguhkan perspektif berwisata yang luas. Penulisnya tidak hanya membatasi cerita liburan yang lazim dianggap sebagai aktivitas berwisata, tetapi juga kegiatan lain yang sifatnya “biasa-biasa” saja, misalnya kegiatan penelitian dari kampus, Kuliah Kerja Nyata (KKN), kunjungan kerja ke daerah-daerah, hingga undangan mantenan. Berwisata tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas liburan atau perjalanan khusus untuk bersenang-senang. Berwisata adalah upaya menghibur diri dengan menyaksikan dan berinteraksi langsung dengan alam, benda, dan masyarakatnya.

Interaksi, itulah kata kunci dalam buku ini. Melalui interaksi dengan alam, benda-benda, dan masyarakat, penulis buku ini menangkap berbagai kesan yang sifatnya subjektif, tetapi jujur. Perjumpaan tersebut kemudian mengendap, diresapi sebagai pengalaman individu sekaligus sosial, karena setiap tempat, benda, dan masyarakat berada dalam lingkup dunia sosial. Di sini, pariwisata tidak hanya bernilai karena segi ekonomi dan hiburan semata, tetapi juga berharga karena dilambari interaksi sosial para pelakunya.

Tidak mengherankan jika Kees Bertens menggarisbawahi bahwa dunia pariwisata, selain memiliki dimensi ekonomi, juga dilekati dimensi moral karena memungkinkan komunikasi antar-bangsa. Berbeda dengan komunikasi politik internasional, komunikasi yang terjalin melalui dunia pariwisata berjalan lebih luwes, rileks, dan nyaman, serta berlangsung dalam skala yang besar dan masif. Pendek kata, melalui komunikasi tersebut, dunia pariwisata mampu berperan menyusutkan purbasangka serta membuka pemahaman mengenai keberagaman kehidupan sosial-budaya di daerah lain.

Perjumpaan dengan “Yang Lain”
Ada beberapa catatan Matatita mengenai perjumpaan dengan masyarakat dan budaya lain. Salah satunya ketika ia diangkat anak oleh keluarga Dayak di pedalaman Kalimantan Timur. Saat itu, ia tinggal bersama orang-orang Dayak di rumah Lamin, rumah khas orang Dayak. Suatu ketika “penyakit” bulanannya kambuh, yaitu sakit tak tertahankan menjelang datang bulan yang membuatnya jatuh pingsan. Peristiwa tersebut ternyata dimaknai sebagai gangguan wok bengkar (roh halus penghuni hutan), sehingga untuk menangkalnya harus dilakukan ritual khusus.

Namun, karena Matatita menolak dengan alasan penyakitnya adalah penyakit biasa, akhirnya keluarga Dayak tersebut menawarkan solusi bijak: mengangkatnya sebagai anak. Ini supaya roh halus tidak mengganggunya lagi. Setelah dilakukan upacara sederhana, dibacakan mantra-mantra khusus, dan wajahnya diolesi tepung, maka resmilah ia menjadi wong ndayak. Peristiwa ini membuat Matatita sadar, bahwa “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.

Perjumpaan dengan masyarakat di luar negeri, membuat penulis buku ini maklum bahwa menjadi orang Indonesia belum tentu dikenal di negeri orang. Pangkal salah paham itu bermula dari wajah, yang membuatnya “dituduh” sebagai bukan orang Indonesia. Saat berkunjung ke Hongkong ia dikira warga Filipina, di Thailand dipersepsi orang Thai, dan di Nepal dianggap orang Malaysia. Itulah mengapa ketika berbelanja suvenir atau bertemu dengan masyarakat setempat, Matatita seringkali harus mengeja nama I-n-d-o-n-e-s-i-a, meskipun nama itu tidak dikenal juga. Identitas diri, dalam hal ini wajah dan kebangsaan ternyata tak selalu diketahui secara jelas oleh orang-orang di negara lain.

Pengalaman lain yang juga menarik adalah kunjungannya ke Kota Agats, kota suku Asmat yang dibangun di atas rawa. Jalan penghubung kota ini adalah jalan papan selebar 1,5 meter. Dari dermaga menuju kantor-kantor pelayanan publik, ditempuh dengan berjalan kaki menelusuri jalan papan tersebut. Kendati jauh dari gambaran sebagai kota modern, jalan-jalan di Kota Agats tetap menggunakan nama pahlawan selayaknya kota-kota lain di Indonesia, seperti Jalan Yos Sudarso, Ahmad Yani, dan Sultan Hasanuddin. Melalui tulisan ini kita tahu, pembangunan dan otonomi daerah belum mampu menjangkau kemakmuran hingga pelosok-pelosok Indonesia.

Berpelesir ke berbagai tempat juga memberi pengetahuan mengenai berbagai moda transportasi yang digunakan serta perilaku para pengendaranya. Contohnya di kawasan Indonesia Timur yang memiliki angkot unik, karena dilengkapi dengan pemutar musik dan layar monitor. Para pengendara angkot ini berlomba menjadikan kendaraannya hingar bingar untuk menarik minat penumpang. Ada juga soal becak di Kota Ambon yang membuat jalanan menjadi padat dan macet. Sementara pengendara becak di Yogyakarta dan Tuktuk di Bangkok, umumnya merangkap sebagai calo. Mereka mengantarkan wisatawan ke toko-toko suvenir dengan imbalan dari pemilik toko jika wisatawan jadi berbelanja.

Selain rekaman mengenai berbagai kesan dan pengalaman bersentuhan dengan tempat-tempat dan budaya lain, buku ini juga menyajikan beberapa petunjuk (tips) untuk mempersiapkan perjalanan wisata. Beberapa yang sangat urgen adalah menentukan tempat tujuan wisata, memesan tiket pesawat dan penginapan, mengontak teman atau calon teman yang bersedia menyediakan tumpangan, serta mempelajari kebiasaan dan event budaya di tempat yang akan dikunjungi.

Langkah praktisnya adalah membuka jaringan melalui dunia maya (travel online). Informasi mengenai destinasi serta berbagai akomodasi dan transportasi gratis atau dengan biaya murah dapat ditemukan melalui internet. Selain menginap di hotel, pilihan yang tak kalah seru adalah menginap di rumah para traveller lokal yang bersedia menjadi tuan rumah (host). Penelusuran ini dapat dilakukan melalui situs-situs komunitas traveller dunia. Di samping memperoleh tumpangan gratis, dengan menginap di rumah penduduk lokal tentu dapat mendalami kebiasaan serta cara hidup mereka. Jika beruntung, mereka juga bisa menjadi pemandu ke berbagai tempat atau event wisata di daerah tersebut.

Menikmati buku ini, kita akan memperoleh pengertian bahwa seorang pelancong adalah juga penikmat keunikan dan keberagaman. Selain mampu menyimpulkan perbedaan eksotisme alam, sejarah, dan budaya, seorang pelancong selayaknya juga mampu menarik garis pemahaman bahwa berwisata adalah aktivitas mengunjungi untuk “mengalami” keberagaman, juga menghormati perbedaan.[]

_______________________
Judul     : Tales From the Road: Mencicip Keunikan Budaya dari Yogyakarta hingga Nepal
Penulis     : Matatita
Penerbit    : B-first (PT Bentang Pustaka), Juni 2009
Halaman   : xii + 234 hlm

0 komentar:

Posting Komentar