Membangun "Ruang Baca" ala John Wood

Lukman S.

Ada semacam kepercayaan umum para penderma dewasa ini, bahwa memberikan “kail” adalah tindakan lebih tepat lagi bijak ketimbang memberikan “ikan”. “Ikan” hanya akan mengenyangkan penerimanya dalam satu waktu, mungkin sehari, dua hari, atau satu bulan. Dan itu artinya akan menciptakan ketergantungan. Berbeda jika yang diulurkan adalah “kail”, yakni alat atau perangkat yang berfungsi untuk menangkap “ikan-ikan”, sehingga dapat memenuhi kebutuhan penerimanya dalam jangka panjang.

Analogi ini mungkin tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh John Wood, eksekutif di salah satu perusahaan nomor wahid dunia, Microsoft. Buku ini pertama kali diterbitkan dalam edisi Indonesia dengan judul Leaving Microsoft to Change the World oleh Bentang Pustaka pada Agustus 2007. Terbitan edisi baru, April 2009, oleh penerbit yang sama diganti judulnya menjadi Room to Read, merujuk pada nama organisasi nirlaba yang dibangun John untuk mendirikan sekitar 7.000 perpustakaan. Judul ini lebih mewakili semangat John, yakni membuka cakrawala pengetahuan anak-anak usia sekolah di dunia ketiga. Judul tersebut juga ditegaskan melalui gambar sampul yang tepat, di mana John dikerubuti anak-anak yang berebut menggapai buku.

John Wood memutuskan hengkang dari Microsoft untuk memulai babak baru dalam hidupnya demi mengobati luka lama dunia: minimnya keterbacaan atas pengetahuan. Ya, di tengah pesatnya globalisasi melalui media elektronik, ada kelompok-kelompok masyarakat yang ternyata belum tersentuh peradaban Guttenberg. Ada sekitar 850 juta penduduk bumi yang belum melek literasi, alias buta baca-tulis sederhana, dan sekitar dua pertiga di antaranya adalah kaum perempuan. Bagi seorang berkebangsaan Amerika, berpendidikan tinggi, dan mencapai jenjang karier sebagai eksekutif pemasaran Microsoft di Sydney dan Cina, angka-angka itu sungguh membuatnya pusing (hlm.33).

Tetapi, kepusingan atas ketersediaan sekolah dan perpustakaan yang tak memadai tidak muncul begitu saja. John semula menemukan realitas menyedihkan itu di Nepal, dalam pelancongannya selama 21 hari menuju Pegunungan Himalaya. Ketika di Nepal itu, secara tak sengaja ia bertemu pengurus pendidikan bernama Pasupathi. Orang ini begitu gigih, berjalan kaki bermil-mil jauhnya setiap hari untuk mengunjungi sekolah-sekolah, memantaunya, dan memberikan bantuan sekedarnya. John tertarik untuk mengunjungi salah satu sekolah di Desa Bahundanda. Bersama Pasupathi, ia melihat bagaimana kondisi bangunan yang disebut “sekolah” itu. Kondisinya tak lebih baik sebagaimana penggambaran Andrea Hirata dalam Laskar Pelangi.

John pun menyaksikan salah satu ruangan dengan papan bertulis “Perpustakaan” di depannya. Papan itu nyatanya hanya sebuah petunjuk “sesat”, sebab di dalamnya tak ada meja, kursi, atau rak-rak berisi penuh buku-buku. Hanya ruang kosong dengan dinding dilapisi peta dunia. Di akhir perjumpaannya dengan kepala sekolah dan guru-guru, ia berjanji: tahun depan ia akan kembali dengan membawa buku-buku. Entah seratus, seribu, atau puluhan ribu untuk memenuhi kebutuhan siswa-siswa yang malang itu. Dan John tak hanya kembali dengan buku-buku, melainkan keputusan penuh untuk memberdayakan sektor pendidikan di Nepal (kelak proyeknya berkembang menjangkau Vietnam, Kamboja, India, Sri Lanka dan negara berkembang lainnya).

Dalam perjalanan pulang ke Sydney, ia sempatkan mampir di warung internet untuk menuliskan email kepada kerabat dan relasinya, meminta bantuan mereka untuk menyumbangkan buku. Tanpa dinyana, gayung surat elektronik itu bersambut. Relasi-relasinya bukan hanya menyumbang buku dan uang, tetapi juga menyebarkan email permintaan bantuan itu kepada relasi-relasi mereka. Dalam tempo sebulanan, ribuan buku terkumpul, sehingga pengiriman buku pertama pun dapat dilakukan.

Tak lama berselang setelah pengiriman buku-buku tersebut, John dipindahkan ke Beijing, Cina. Posisinya sebagai salah satu eksekutif senior ternyata tak mampu membuatnya nyaman. Pesan moral Dalai Lama dalam The Art of Happiness, bahwa manusia cenderung mencari kebahagiaan dan akan memperolehnya jika membagi apa yang dimilikinya, begitu membayanginya. Dalai Lama mengajarkan moral sebagaimana dipahami olah umat Islam, bahwa manusia harus mensyukuri karunia Tuhan dengan membantu kaum miskin untuk keluar dari siklus kemiskinan. Salah satu caranya melalui pendidikan (hlm.18).

Keputusan John untuk keluar dari Microsoft dan menjadi pekerja sosial tidak dilalui dengan jalan mulus. Atasannya protes atas keputusan “sepihak” itu, dan terlebih kekasihnya (perempuan cantik dengan lompatan karier yang menawan pula) harus ia tinggalkan. John memang sempat kehilangan arah, sebelum akhirnya memberikan makna mendalam atas keputusannya itu: apa yang selama ini ia raih tak ada artinya dibanding jutaan anak usia sekolah yang tak mampu mengecap pendidikan layak.

John seperti membenarkan kritik Pierre Bourdieu, bahwa kesenjangan global bermula dari habitus, modal, dan ranah yang berbeda-beda. John merangkumnya dalam kata-kata: “Berapa juta anak tak akan mempunyai kesempatan yang saya miliki dalam hidup, hanya karena mereka ditolak oleh pendidikan pada usia muda? Seakan-akan di sana ada ‘lotere kehidupan’. Pada usia muda, anak-anak secara sewenang-wenang dianggap pemenang atau pecundang, berdasarkan tempat lahir mereka. Anda lahir di Scarsdale, Anda menang. Anda lahir di Bogota, Anda kalah” (hlm.49).

Catatan itu begitu menarik dan menusuk jantung realitas kita hari ini. Seseorang yang lahir di Jakarta atau di Jawa (dan tentu saja dari keluarga berkecukupan), dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas, dan karena itu masa depannya bisa lebih cerah dan pasti. Sementara mereka yang lahir di luar Jawa, atau mereka yang berasal dari keluarga miskin di mana pun di pelosok negeri ini, harus puas dengan sekolah-sekolah ala Laskar Pelangi, atau bahkan tidak bersekolah sama sekali. Bagaimana mereka dapat turut dalam roda pembangunan, jika “membaca saja, sulit”?

Nepal memang bukan Indonesia. Tetapi, banyak sekolah-sekolah dasar di negeri ini yang tak layak disebut sekolah. Alih-alih memiliki gedung perpustakaan yang lengkap koleksi dan jejaring elektronisnya (internet), sebagian besar kondisi sekolah-sekolah di pelosok negeri ini masih jauh dari layak. Belum lagi soal kuantitasnya, yang mana gambaran idealnya tiap desa atau kampung minimal memiliki satu sekolah dasar sebagai pemenuhan kebutuhan dasar warga negara.

Sudah saatnya kita pertimbangkan: mungkin bukan lagi hanya sodaqoh uang untuk fakir miskin, tetapi juga sodaqoh sekolah atau sodaqoh buku, supaya pendidikan dan keterbacaan akan pengetahuan tak hanya dimiliki kaum yang cukup. Karena kita percaya, pendidikan yang berkualitas merupakan salah satu jalur mobilitas sosial vertikal, yang artinya untuk kesejahteraan umat manusia.[]
____________________________
Judul Buku     : Room to Read: Tinggalkan Karier di Microsoft Demi Membangun 7.000 Perpustakaan di Pelosok Dunia
Penulis          : John Wood
Penerjemah   : Widi Nugroho
Penerbit         : Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetak             : April 2009
Tebal              : x + 386 halaman

0 komentar:

Posting Komentar