Karnaval Pengetahuan Remy Sylado

Lukman S.

Sumber: http://aklahat.wordpress.com
Saya merasa perlu menulis semacam ulasan setelah membaca beberapa roman karya Remy Sylado sekurang-kurangnya karena dua hal. Pertama, karangannya selalu menarik (setidaknya dari 4 karya yang saya baca), baik dari segi tema maupun caranya bercerita. Kedua, pengarang yang satu ini (menurut pribadi saya) merupakan salah satu pengarang jenius, atau setidaknya mendekati jenius karena muatan pengetahuan yang diembankan dalam karya-karyanya begitu kuat (rodo lebay ki... hehe...). Artinya, ia tak hanya piawai mengarang jalannya cerita, juga persentuhan antar-tokohnya. Terlebih lagi, Remy amat pandai menyelipkan berbagai pengetahuan mulai dari sejarah, musik, kata dan muasal kata, atau puisi ke dalam jalan ceritanya.

Sebetulnya saya sudah pernah membaca karya Remy sebelum ini, yaitu Ca Bau Kan. Tapi terus terang saya sudah lupa detailnya. Ketika saya mencoba menghatamkan Kerudung Merah Kirmizi tempo hari, prosa yang diganjar Khatulistiwa Literary Award itu, saya lalu tertarik untuk membaca novel-novel lainnya. Jadilah saya kemudian membaca pula Parijs van Java, Kembang Jepun, dan terakhir kemarin Menunggu Matahari Melbourne.

Sebelum saya kemukakan beberapa hal yang saya anggap menarik dalam karya-karya Remy itu, saya harus katakan bahwa sebelumnya saya membaca novel lain dari pengarang yang lain juga, antara lain Perahu Kertas karya Dewi Lestari/Dee, kemudian Arok Dedes karya Pramoedya, dan Desersi karya MTH. Paralaer. Kenapa hal ini saya utarakan, karena ada beberapa simpulan yang saya peroleh dengan membandingkan antara karya-karya Remy itu dengan novel-novel lain yang saya baca dalam jeda yang tak berapa lama. Selain itu, mau tak mau harus saya akui, penilaian saya ini sedikit banyak terkontaminasi pula oleh bacaan novel-novel yang lain itu.

Baiklah, hal pertama yang ingin saya kemukakan adalah, bahwa dalam karya-karyanya, Remy menunjukkan kelasnya sebagai pengarang yang ulung, juga pengarang yang telah matang akan ilmu dan pengetahuan. Sangkaan ini dapat saya kemukakan melihat caranya yang berhasil dalam mengeksplorasi kisah cinta dengan berbagai alur cerita, tokoh, dan konteks sejarah, sosial, dan budaya para pelakunya yang begitu kaya. Sehingga dengan membacanya, kita tak hanya disuguhkan kisah menarik, njlimet, dan kadang sok misterius dari perjalanan cinta sang tokoh, tetapi yang tak kalah penting juga adalah sisipan dan selipan pengetahuan mengenai hal ihwal yang melatari kisah cinta tersebut.

Dalam empat novel yang saya baca, setidaknya ada beberapa karnaval pengetahuan yang coba disisipkan oleh Remy, yaitu pengetahuan mengenai sejarah (terutama sejarah kota), karnaval puisi dan lagu (terutama puisi dan lagu-lagu klasik), peribahasa (baik lokal/daerah, nasional, maupun mancanegara), serta tentu saja pemilihan diksi-diksi klasik.

Saya katakan “karnaval” karena tidak banyak pengarang yang menyengaja menyisipkan hal-hal semacam itu, dan sebab itu membaca karya Remy terkadang terasa ganjil. Misalnya, saya mulanya kurang sreg dengan tebaran cuplikan-cuplikan puisi Timur Tengah dalam percakapan antar-tokoh dalam Kerudung Merah Kirmizi. Begitu juga pameran judul dan bait-bait lagu klasik (yang tentu saja dari Barat) yang saya tidak kenal karena minimnya minat dan pengetahuan musik saya.

Tetapi sebaliknya, saya merasa sangat senang jika ada sisipan pengetahuan sejarah yang ia sematkan pada nama-nama bangunan (asal muasalnya), asal muasal sebuah bangsa, asal muasal bahasa dan diksi, dan lain-lain.

Dari karnaval pengetahuannya itu, saya menangkap kesan bahwa Remy adalah salah satu pengarang yang mencoba “memaksakan” kehendaknya (baca: pengetahuan) kepada khalayak pembacanya.

(Atau jangan-jangan memang setiap pengarang memiliki ciri demikian? Ah, sepertinya tidak, sebab ada juga pengarang yang tipenya nyelebritas, alias mengikuti maunya pembaca).

Yang amat tampak dan paling menarik bagi saya adalah pemilihan diksi-diksi klasik yang digalinya dan dituturkannya kembali ke dalam narasi kontemporer prosa-nya. Diksi-diksi klasik itu (semula saya mencatatnya, tetapi setelah lebih dari 50 kata saya jadi malas, hehe...) sebagian besar berasal dari bahasa Arab (bahasa yang semula banyak menginfiltrasi bahasa Melayu), selain juga dari bahasa Jawa serta bahasa daerah lainnya.

Ambil contoh misalnya “mustahak”, “azmat”, “nudub”, “misbah”, “mudigah”, dan lain-lain. Selain dari bahasa Arab, ada juga dari bahasa Jawa, misalnya “yuwana”, “nugraha”, “driya”, dan “prayojana”. Kata yang terakhir ini (saya tak tahu pasti apakah benar dari bahasa Jawa/Sansekerta) diusulkan dan dipraktekkan langsung ke dalam prosa-nya oleh Remy untuk mengganti kata berbahasa Inggris trend setter. (Untuk arti dari kata-kata yang lain mohon maaf saya tidak paham secara pasti, hehe).

Nah, pertanyaannya, ada apa gerangan kok Remy (dalam karya-karyanya itu) secara sengaja mengampanyekan diksi-diksi klasik tersebut?

Mungkin saja ini bagian dari eksplorasinya sebagai pengarang. Dan, tentu saja mungkin juga untuk menunjukkan kepiawaiannya memilih kemudian menyisipkan kata-kata klasik itu tanpa mengurangi kenyamanan menarasikan dialog atau jalan ceritanya. Dan memang, berbeda dengan kesan saya mengenai karnaval pengetahuan ihwal musik atau puisi, saya merasa kemunculan diksi-diksi “aneh” tersebut terasa lebih pas, meskipun itu tadi, saya juga tak mengetahui secara pasti, kecuali mereka-reka dari konteks kalimatnya.

Tetapi alasan yang lebih tepat menurut saya adalah visi kepengarangan Remy yang mengantarkan ia pada keyakinan untuk mengeksplorasi kata-kata klasik itu ke dalam karyanya. Maksud saya, ada dorongan untuk memaksakan kepada pembaca supaya memamah atau setidaknya membaui kata-kata yang saat ini sudah tak lazim lagi digunakan.

Sebagai seorang penafsir bahasa, dan juga praktikus (lawan dari kritikus) dalam mengarang puisi dan prosa, Remy nampak intens sekali memperjuangkan apa yang ia sebut sebagai estetika bahasa. Keindahan dalam cara menuturkan dan melafalkan bahasa. Dan ia, sebagai praktikus, memilih media puisi dan prosa dalam menerapkannya. Terasa benar dalam prosa-prosa yang saya sebut di muka tadi, caranya menyisipkan kata-kata klasik itu dalam tuturan yang kontemporer, menggelitik para pembacanya untuk mencari apa maknanya.

Tapi sayangnya, bukannya mempermudah, Remy malah membiarkan pembaca kebingungan sendiri. Ia tak menyajikan arti harfiah sebagai keterangan pelengkap. Coba saja ada semacam glosarium, mungkin itu akan mempermudah pembaca mengetahui secara pasti apa makna kata-kata klasik itu. Tapi sudah saya katakan tadi, Remy mungkin pengarang yang masuk tipe memaksakan kehendak, hehe... (jadi, jarke wae... hahahaha).

Di Antara Novel-novel (dari Pengarang) Lain

Sudah saya katakan bahwa sebelum membaca karya-karya Remy, saya telah membaca beberapa novel lain. “Telah membaca” di sini maksudnya jeda antara membaca novel-novel lain dengan novel-novel Remy tak begitu lama, sehingga kesan masing-masing novel masih cukup kuat membekas. Dan apa yang telah saya kemukakan, sedikit banyak merupakan perbandingan juga dengan novel-novel dari pengarang lain itu. Namun demikian, ada beberapa perbandingan kecil antara karya Remy dengan novel lainnya yang dapat saya tambahkan di bawah ini.

Pertama dengan Perahu Kertas. Novel ini juga bercerita tentang “cinta sejati”, dan sama-sama dibuat dengan alur agak njlimet. Tetapi, tentu saja, karena konteks cerita yang dibuat Dee adalah kekinian (sekitar tahun 2000an), maka pengetahuan sejarah yang disisipkannya amat minim. Begitu juga dengan pilihan-pilihan diksinya, tidak banyak (atau malahan mungkin tidak ada) diksi klasik yang dituturkan kembali di dalam Perahu Kertas.

Kendati dua hal ringkas ini seolah-olah menyurukkan penilaian saya atas Perahu Kertas, namun sejatinya novel yang satu ini tetap memiliki kesan tersendiri bagi saya : Dee memang penulis handal! Caranya bercerita, selain bagus dan kadang kocak, juga makin meneguhkan apa yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam pengantar Filosofi Kopi, bahwa Dee adalah tangkisan, tangkisan atas anggapan sastrawangi (sastra yang mengumbar selangkangan belaka). Ya, kesimpulan ini menutup pembacaan saya atas Perahu Kertas, bahwa Dee dengan cantik menghindari pengumbaran seks di dalam karyanya (bandingkan misalnya dengan pengarang perempuan lainnya).

(Apakah karena ia seorang penganut Buddha dan pelaku olah Yoga yang niscaya memiliki ketenangan batin sehingga mendorongnya melahirkan tulisan yang “resik”? entahlah...).

Kedua dengan Desersi. Desersi ini oleh Paralaer, pengarangnya, disebut sebagai ethnograpische roman, maksudnya roman berlatar etnografis. Dan benar, latar cerita di Pulau Kalimantan dipenuhi dengan berbagai macam informasi mengenai alam, sejarah, dan budaya masyarakat lokal Kalimantan (terutama Dayak dan kemudian juga Melayu). Kesamaannya dengan Remy, menurut saya, caranya merangkum apa yang diketahui dan ingin ditularkan kepada pembacanya sama-sama piawai. Tentu saja informasi tersebut didapat dengan jalan riset; Remy mungkin riset pustaka, sementara Paralaer riset lapangan karena ia bekas tentara Belanda.

Dengan imbuhan berbagai pengetahuan itu, lagi-lagi dapat dikampanyekan bahwa dengan membaca novel kita tidak hanya dapat meresapi alur cerita dan karakter tiap-tiap tokohnya, melainkan juga memperoleh pengetahuan tambahan berdasarkan konteks cerita. Dalam hal ini, saya mencoba membandingkan apa yang pernah saya anggap sangat membosankan dalam pelajaran Sejarah semasa sekolah menengah, yaitu menghafal. Sebagai anak dengan bakat pelupa, tentu saja menghafal adalah momok. Jangankan tahun-tahun penting, nama-nama tokoh dan pelaku sejarah lokal, nasional, atau bahkan dunia saya sering lupa.

Tetapi dengan membaca novel, kita dapat menyisipkan pengetahuan sejarah tertentu dengan mudah dalam ingatan kita, sebab ada kesan khusus yang mampu memperkuat ingatan tersebut. Ambil misal, setelah membaca trilogi Rara Mendut-nya Romo Mangun, selain tentu saja dapat meresapi keganasan Sultan Agung dan kebiadaban Amangkurat, kita dapat segera tahu (meskipun sedikit) tentang sejarah Mataram Islam.

Dan jika ingin menyelidiki lebih jauh (ini biasanya langkah berikutnya dari seorang korban penasaran karena membaca novel), si pembaca dapat mencari info lebih jauh tentang sejarah (misalnya dari buku lain atau dengan mengunduh harta karun mbah Google), atau bisa juga berkunjung ke situs-situs yang diulas dalam cerita (kebetulan saya pernah ke kompleks Plered bersama Iid dan Arya untuk napak tilas, meskipun hanya menjumpai puing-puing masjid dan makam Ratu Malang yang mengenaskan, hehe...). Sumpah! Dengan cara macam ini, pelajaran sejarah jadi tak membosankan, hehe...

Nah, terakhir antara Pram dan Remy... Hal pertama yang membedakan karya-karya yang dihasilkan oleh dua pengarang ini adalah tema cerita. Pram, menurut saya, selalu mengetengahkan kisah-kisah yang bertitik tolak pada persoalan kemanusiaan. Sementara Remy, dari beberapa novel yang saya sebut tadi selalu ingin mengolah cerita mengenai relasi percintaan. Ujung-ujungnya adalah menemukan cinta sejati!

Lantas, apakah cinta bukan persoalan kemanusiaan? Memang, cinta juga merupakan persoalan kemanusiaan, dan sebaliknya dalam banyak persoalan kemanusiaan yang dikisahkan Pram tak jarang juga menampilkan kisah percintaan. Tetapi, menurut saya pribadi, ada titik tekan atau pelatuk yang berbeda antara visi kepengarangan Pram dan Remy, bahwa Pram kentara berpihak kepada kemanusiaan, apapun dan bagaimanapun caranya (baik melalui cerita tentang relasi percintaan, relasi anak-bapak, relasi tuan-gundik, dan lain-lain), sementara Remy kebanyakan berkutat pada ihwal menemukan cinta sejati (meskipun di dalamnya juga diketengahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang lain).

Nah, sebagai sesama kampiun, tidak usah disebutkanlah jika keduanya juga piawai memanfaatkan dan menafsirkan sumber sejarah, serta memaksimalkan pengetahuan bahasa mereka ke dalam cara bertutur prosanya.

Kesimpulan tentang perbedaan titik tolak cerita Pram dan Remy tersebut turut mempengaruhi jawaban saya jika ada pertanyaan apakah lebih bagus Pram atau Remy. Tentu pribadi saya menjawab Pram. Tetapi itulah, jawaban Pram yang mendahului Remy tidak membuat gugur penilaian saya bahwa Remy juga amat sangat piawai. Artinya, saya akan tetap tertarik membaca karya Remy yang lain, hehe...

Demikianlah, tulisan ini mungkin lebih banyak promosinya ketimbang telaah kritis atas karya. Supaya jika ada yang belum membaca karya Remy, monggo dipun diwoco... hehe... Maaf... Namanya juga pembaca biasa yang tidak pernah belajar analisis sastra. Namanya juga iseng... hehe...

Akhirul kalam... wallahua’lam...

[membaca-menulis apa saja dalam masa menunggu kepastian:]

0 komentar:

Posting Komentar