Tradisi Meugang di Aceh: Setahun Kita Bekerja, Sehari Kita Makan

Si thon ta mita, si uroe ta pajoh (Setahun kita bekerja, sehari kita makan)

 
Oleh: Lukman S.
1. Asal-usul
Masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang disebut Meugang yang berfungsi untuk menghormati datangnya hari-hari besar Islam. Di tempat lain juga ada tradisi serupa, namun ada perbedaan yang nyata dengan apa yang dilakukan oleh masyarakat Aceh. Misalnya menjelang puasa orang ramai berziarah ke makam-makam leluhur atau mendatangi tempat-tempat pemandian untuk melakukan ritual mandi. Di Jawa Tengah dikenal dengan nama Padhusan, di daerah Riau dan Sumatra Barat dan sekitarnya disebut Mandi Balimau, serta di Tapanuli Selatan disebut Marpangir. Sementara di Aceh, dua hari menjelang bulan puasa masyarakat akan beramai-ramai mendatangi pasar untuk membeli daging sapi.

Tradisi Meugang atau yang juga dikenal dengan berbagai sebutan, antara lain Makmeugang, Memeugang, Haghi Mamagang, Uroe Meugang atau Uroe Keumeukoh merupakan rangkaian aktivitas dari membeli, mengolah, dan menyantap daging sapi. Meskipun yang utama dalam tradisi Meugang adalah daging sapi, namun ada juga masyarakat yang menambah menu masakannya dengan daging kambing, ayam, juga bebek. Meugang biasanya dilaksanakan selama tiga kali dalam setahun, yaitu dua hari sebelum datangnya bulan puasa, dua hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, dan dua hari menjelang Idul Adha.

Amir Hamzah (dalam http://www.acehfeature.org), salah seorang tokoh masyarakat Aceh mengatakan, tradisi ini dulunya dikenal dengan nama Makmeugang. Gang dalam bahasa Aceh berarti pasar, di mana di dalamnya terdapat para penjual daging yang digantung di bawah bambu. Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat umum yang mendatangi pasar itu. Namun, pada hari-hari tertentu, yaitu menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi pasar, sehingga ada istilah Makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah nama Makmeugang.

Hamzah dalam sumber tersebut di atas mengatakan tradisi ini telah muncul bersamaan dengan penyebaran agama Islam di Aceh, yaitu sekitar abad ke-14 M. Sesuai anjuran agama Islam, datangnya bulan Ramadhan sebaiknya disambut secara meriah, begitu juga dengan dua hari raya, yaitu hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Jika pada hari-hari biasa masyarakat Aceh terbiasa menikmati makanan dari sungai maupun laut, maka menyambut hari istimewa itu (hari Meugang), masyarakat Aceh merasa daging sapi atau lembulah yang terbaik untuk dihidangkan. Zaman dahulu, pada hari Meugang, para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin. Hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu.

Menurut Ali Hasjmy (1983: 151), dalam masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, hari Meugang dirayakan di Keraton Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama. Hari Meugang ini biasanya jatuh pada tanggal 29 atau 30 Sya’ban (dua hari atau sehari menjelang bulan Ramadhan). Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu. Selain itu, Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan-karangan bunga yang ditempatkan di makam para sultan. Gambaran mengenai kemeriahan tradisi tersebut juga dipaparkan oleh Lombard (2007: 204—205).

Ali Hasjmy juga menjelaskan bahwa pada hari itu, sultan juga memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para janda. Biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari Meugang ini ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar-warga negara dan antar-manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam. Hingga kekuasan pemerintah kolonial Hindia Belanda, tradisi Meugang ini tetap dilaksanakan di Aceh. Bahkan Pemerintah Belanda mengambil kebijakan libur kerja pada hari Meugang serta membagi-bagikan daging pada masyarakat (Hasjmy, 1983: 151).

Dalam catatan Snouck Hurgronje (1997: 175), tradisi Meugang sudah sangat melembaga bagi masyarakat Aceh. Tradisi ini bahkan dapat membantu perjuangan para pahlawan Aceh untuk bergerilya, terutama karena telah dikenalnya teknologi sederhana untuk pengawetan makanan, yaitu dengan pemberian cuka, garam, dan bahan-bahan lainnya. Dengan daging awetan itu, para pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan sehingga dapat bertahan untuk melakukan perang gerilya. Dalam tradisi Meugang, pengawetan daging ini tentu saja sangat dibutuhkan. Sebab, pada hari Meugang, di mana hampir seluruh masyarakat bumi rencong melakukan pemotongan daging sapi secara besar-besaran, maka untuk menjaga stok tersebut supaya dapat dikonsumsi dalam beberapa hari kemudian diperlukan upaya pengawetan.

Melembaganya tradisi Meugang dalam masyarakat Aceh dapat dilihat dari jaringan sosial yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan daging pada hari Meugang. Jauh hari sebelum Meugang dilaksanakan, masyarakat gampong (kampung) akan bermusyawarah di meunasah (tempat berkumpulnya orang dewasa untuk melakukan ibadah, musyawarah, maupun menyelesaikan berbagai persoalan sosial-budaya) untuk menentukan ripee, yaitu jumlah pungutan atau iuran warga untuk membeli sapi yang akan dipotong bersama-sama. Gotong royong mengumpulkan uang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Meuripee. Pada hari Meugang, sapi-sapi hasil iuran bersama akan dipotong dan kemudian dibagi rata.

Dalam perkembangannya, selain pemotongan daging yang diupayakan secara bersama-sama melalui cara Meuripee, masyarakat Aceh juga memperoleh daging sapi dengan jalan membelinya di pasar-pasar. Menjelang pelaksanaan Meugang, masyarakat Aceh akan berbondong-bondong menuju pusat-pusat penjualan daging sapi. Akibat kebutuhan daging yang melonjak tersebut, harga daging sapi biasanya akan naik 4—5 kali lipat dari harga normal. Lapak-lapak baru penjualan daging pun turut menjamur di pinggir jalan maupun di tempat-tempat keramaian lainnya.


Selain bisa memperoleh daging melalui cara Meuripee dan membeli di pasar, tak jarang instansi-instansi pemerintah maupun swasta juga menyediakan daging sapi untuk para karyawannya. Meugang yang dilakukan oleh berbagai instansi itu biasa disebut dengan Meugang Kantor. Tak hanya kantor pemerintah dan swasta, lembaga-lembaga pendidikan juga kerap kali mengadakan Meugang bersama yang diperuntukkan bagi karyawan sekolah maupun para muridnya.

Pasca-musibah gempa bumi dan tsunami tahun 2004 lalu, masyarakat Aceh tetap melangsungkan perayaan Meugang. Bahkan, menjelang perayaan itu, bantuan dari pemerintah maupun LSM terpusat untuk menyediakan pasokan daging sapi bagi masyarakat tanah rencong.

2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Dalam satu tahun, tradisi Meugang dilaksanakan selama tiga kali, yaitu dua hari sebelum bulan Puasa (disebut Meugang Puasa), menjelang hari raya Idul Fitri (disebut meugang Uroe Raya Puasa), serta menjelang hari raya Idul Adha (Meugang Uroe Raya Haji). Untuk pelaksanaan pemotongan daging Meugang tergantung kesepakatan masyarakat, bisa di tanah-tanah lapang di kampung untuk Meugang Gampong, bisa di sekitar kantor untuk Meugang Kantor, atau bisa juga di sekolah untuk Meugang yang dilaksanakan oleh sekolah (keterangan ini tidak termasuk untuk daging sapi Meugang yang dibeli di pasar). Sementara, untuk proses memasak daging serta menikmatinya biasanya dilaksanakan di rumah masing-masing warga.

3. Pelaksanaan Meugang

A. Cara Memperoleh Daging
Dalam konteks masyarakat Aceh saat ini, untuk memperoleh daging sapi guna merayakan tradisi Meugang dapat dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, antara lain:

1. Meugang Gampong

Pelaksanaan Meugang Gampong diawali dengan musyawarah untuk menentukan besarnya biaya iuran guna membeli sapi (Meuripee). Musyawarah ini biasanya dipimpin oleh Teungku Meunasah, yaitu seorang pimpinan adat setempat. Musyawarah ini dilakukan jauh sebelum hari Meugang tiba, supaya uang yang terkumpul mencukupi untuk dibelikan beberapa ekor sapi. Pada hari pelaksanaannya, beberapa orang pria trampil akan ditugaskan sebagai penjagal dan pemotong sapi. Para pria yang bertugas tersebut akan memperoleh bagian tertentu dari daging sapi yang dipotong, misalnya memperoleh leher, kepala, atau kulitnya.

Usai dipotong, daging sapi akan dibagikan secara merata, termasuk tulang dan jeroan-nya (isi perut sapi, antara lain babat, usus, limpa, dan lain sebagainya) sesuai jumlah kepala keluarga yang terdapat di dalam Gampong. Jadi, setiap tumpuk daging yang akan dibagikan tersebut terdiri dari daging, tulang, dan jeroan sekaligus. Setelah dibagi rata, maka warga Gampong akan memasak dan menikmati daging sapi tersebut bersama keluarga dan kerabat dekatnya di rumah masing-masing.

2. Meugang Kantor
Sebagaimana namanya, Meugang yang satu ini dilaksanakan di kantor atau tempat kerja masing-masing. Oleh karena tradisi ini telah berusia ratusan tahun, maka menyediakan daging sapi pada hari Meugang tidak hanya dilakukan secara swadaya oleh masyarakat Gampong, melainkan juga oleh perusahaan atau kantor-kantor pemerintah. Penyediaan daging sapi ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu memotong beberapa ekor sapi untuk para karyawan, atau cukup memberikan tunjangan uang untuk membantu karyawan membeli daging sapi di pasar.

3. Membeli di Pasar
Alternatif lain untuk memperoleh daging sapi adalah dengan cara membelinya di pasar. Tentu saja, cara terakhir ini lebih membutuhkan dana yang cukup besar. Setiap kali hari Meugang, masyarakat Aceh biasanya memerlukan antara 1—10 kg daging sapi untuk keluarganya. Padahal, menjelang hari Meugang, harga daging melonjak beberapa kali lipat dari harga biasa.

B. Memasak dan Mengawetkan Daging
Daging sapi yang diperoleh warga baik dari Meugang Gampong, Meugang Kantor, maupun membeli di pasar biasanya akan dimasak sebagai santapan atau lauk utama. Daging sapi ini ada yang diolah menjadi rendang, gulai, kare, atau disemur. Bau olahan daging dengan bumbu rempah-rempah ini akan memenuhi rumah-rumah warga di Aceh, sehingga orang Aceh menyebutnya Sie Meugang (aroma daging Meugang).
 

Namun, daging-daging tersebut tidak seluruhnya dimasak untuk disantap hari itu juga. Sebagian daging diawetkan untuk dikonsumsi pada hari-hari berikutnya. Proses pengawetan dapat dilakukan dengan jalan dijemur dan ditaburi garam, biasa disebut Sie Tho, yaitu daging serupa dendeng yang memiliki rasa asin. Ada juga yang diolah menjadi daging cuka khas Aceh Besar, yaitu daging sapi yang dipotong berbentuk bonggol-bonggol besar lalu dimasak dengan bumbu yang dilengkapi cuka. Dengan menggunakan campuran cuka yang banyak, maka daging olahan ini dapat disimpan dalam waktu yang cukup lama. Jika ingin disantap, maka bonggol daging tersebut dapat diiris-iris seperti dendeng untuk selanjutnya dimasak sesuai selera.

C. Menikmati Meugang
Setelah daging Meugang selesai dimasak, maka anggota keluarga akan berkumpul untuk menyantapnya secara bersama-sama. Tentu saja, hari Meugang ini merupakan hari yang sangat berbahagia karena masakan-masakan yang disuguhkan merupakan masakan istimewa. Selain acara utama yaitu menikmati berbagai masakan dari daging sapi, masyarakat Aceh biasanya juga menyelinginya dengan memakan sirih (Pajoh Ranup). Tujuannya adalah menghilangkan bau mulut usai menyantap daging, serta mempermudah proses pencernaan makanan.

4. Nilai-nilai di Balik Tradisi Meugang
Perayaan Meugang tidak hanya memiliki makna lahiriah sebagai perayaan menikmati daging sapi, melainkan juga memiliki beberapa dimensi nilai yang berpulang pada ajaran Islam dan adat istiadat masyarakat Aceh. Mereka yang melaksanakan tradisi Meugang di Aceh memang mengenal sebuah pepatah yang sudah cukup lama hidup dalam kesadaran mereka, yaitu Si thon ta mita, si uroe ta pajoh (Setahun kita mencari rezeki, sehari kita makan). Pepatah ini cukup tepat untuk menggambarkan betapa hari Meugang bagi masyarakat Aceh merupakan hari yang sangat penting, di mana kebahagiaan dapat diwujudkan dengan cara menikmati daging secara bersama-sama. Meski demikian, selain sebagai wujud mensyukuri nikmat rezeki selama setahun itu, pelaksanaan tradisi Meugang juga memiliki beberapa dimensi nilai yang lain, antara lain:

a. Nilai Religius
Pelaksanaan tradisi Meugang memang bermula dari upaya masyarakat Aceh untuk merayakan datangnya bulan puasa dan dua hari raya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi masyarakat muslim pada umumnya, datangnya bulan Ramadhan disambut dengan gegap gempita. Tak terkecuali bagi masyarakat Aceh. Meugang yang dilaksanakan sebelum puasa merupakan upaya untuk mensyukuri datangnya bulan yang penuh berkah. Meugang pada Hari Raya Idul Fitri adalah sebentuk perayaan setelah sebulan penuh menyucikan diri pada bulan Ramadhan. Sementara Meugang menjelang Idul Adha adalah bentuk terima kasih karena masyarakat Aceh dapat melaksanakan Hari Raya Qurban.

Dari ketiga Meugang tersebut, Meugang menyambut datangnya bulan puasa merupakan perayaan Meugang yang paling meriah. Hal ini karena masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang sudah dicari selama 11 bulan penuh harus dinikmati selama bulan Ramadhan sambil beribadah.

b. Nilai Berbagi (Bersedekah)
Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam, perayaan Meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging Meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya hari Meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang Pemilu.

Selain dimanfaatkan oleh para dermawan untuk berbagi rejeki, perayaan Meugang juga menjadi hari yang tepat bagi para pengemis untuk meminta-minta di pasar maupun pusat penjualan daging sapi. Para pengemis ini meminta sepotong atau beberapa potong daging kepada para pedagang. Ini berkaitan dengan terbangunnya nilai sosial atau kebersamaan.

c. Nilai Kerbersamaan
Tradisi Meugang yang meibatkan sektor pasar, keluarga inti maupun luas, dan sosial menjadikan suasana kantor-kantor pemerintahan, perusahaan-perusahaan swasta, serta lembaga pendidikan biasanya akan sepi sebab para karyawannya lebih memilih berkumpul di rumah. Orang-orang yang merantau pun bakal pulang untuk berkumpul menyantap daging sapi bersama keluarga. Perayaan Meugang menjadi penting karena pada hari itu akan berlangsung pertemuan silaturrahmi di antara saudara yang ada di rumah dan yang baru pulang dari perantauan.

Pentingnya tradisi Meugang, menjadikan perayaan ini seolah telah menjadi kewajiban budaya bagi masyarakat Aceh. Betapa pun mahal harga daging yang harus dibayar, namun masyarakat Aceh tetap akan mengupayakannya (baik dengan cara menabung atau bahkan terpaksa harus berhutang), sebab dengan cara ini masyarakat Aceh dapat merayakan kebersamaan dalam keluarga. Dengan kata lain, melalui tradisi Meugang masyarakat Aceh selalu memupuk rasa persaudaraan di antara keluarga mereka.

d. Menghormati Orang Tua
Tradisi yang telah kita diskusikan di atas tak hanya merepresentasikan kebersamaan dalam keluarga, namun juga menjadi ajang bagi para menantu untuk menaruh hormat kepada mertuanya. Seorang pria, terutama yang baru menikah, secara moril akan dituntut untuk menyediakan beberapa kilogram daging untuk keluarga dan mertuanya. Hal ini sebagai simbol bahwa pria tersebut telah mampu memberi nafkah keluarga serta menghormati mertuanya. Tak hanya para menantu, pada hari Meugang para santri (murid-murid yang belajar agama) pun biasanya akan mendatangi rumah para guru ngaji dan para teungku untuk mengantarkan masakan dari daging sapi sebagai bentuk penghormatan. Begitu pentingnya nilai penghormatan terhadap orang tua telah mengkondisikan tradisi tersebut tidak mungkin untuk ditinggalkan. Jika ditinggalkan hidup menjadi terasa tidak lengkap dan dan muncul perasaan terkucil.

5. Kesimpulan
Pelaksanaan tradisi Meugang secara jelas telah menunjukkan bagaimana masyarakat Aceh mengapresiasi datangnya hari-hari besar Islam. Tradisi ini secara signifikan juga telah mempererat relasi sosial dan kekerabatan di antara warga, sehingga secara faktual masyarakat Aceh pada hari itu disibukkan dengan berbagai kegiatan untuk memperoleh daging, memasak, dan menikmatinya secara bersama-sama. Selain dampak penguatan ikatan sosial warga di tingkatan gampong dan tempat kerja (kantor), nampak pula dampak signifikan dari tradisi ini di ranah pasar, yaitu aktivitas jual-beli daging yang meningkat tajam.[]


      Daftar Pustaka:






Hamburgerisasi ala Orang Jogja

Lukman S.

Benar kata Jean Baudrillard soal pola konsumsi masyarakat sekarang, masyarakat yang ia sebut sebagai masyarakat post-modern. Dalam pemahaman pemikir Perancis ini, konsumsi bukan sekadar untuk menghabiskan atau memamah nilai guna (use value), melainkan juga, beserta proses konsumsi itu dikunyah juga citra-citra atau tanda yang dikandung oleh sebuah obyek konsumsi. Demikian juga dengan makanan. la bukan hanya dinikmati kapasitasnya sebagai pengganjal perut (sebagai kebutuhan biologis) tetapi juga untuk mengomunikasikan status sosial tertentu atau sebentuk gengsi.

Bukan itu saja, makanan sebetulnya juga menggambarkan percampuran budaya beberapa kultur akibat globalisasi. Fakta sosial macam ini biasa disebut dengan glokalisasi, yakni pencaplokan unsur lokal untuk melengkapi unsur makanan global agar diterima luas oleh konsumen lokal. Glokalisasi mudah diamati dalam produk ayam goreng KFC yang menyertakan nasi. Di resto burger ia mewujud dalam McSatay atau bubur ayam McD.

Tapi, fenomena yang muncul belakangan, seperti tampak menjamur di Yogyakarta, "makanan bule" macam hamburger dan fried chicken (bahkan sekarang diikuti makanan ala Jepang) banyak dipasarkan oleh masyarakat lokal. Jadi, untuk mengonsumsi burger atau fried chicken, kita tak perlu ke Mall Malioboro yang sudah tentu mahal. Kita cukup mencari gerobak burger atau fried chicken di Jl Gejayan dan Kaliurang. Kondisi ini memperlihatkan bahwa "hamburgerisasi" makanan  masyarakat urban tidak saja mengalir lewat outlet-outlet resmi McD  dan KFC, tetapi juga melalui saluran penetrasi lokal macam gerobak, warung tenda, dan mini resto milik orang lokal.

Bisa jadi, fenomena ini merupakan bentuk lain dari glokalisasi, atau paling tidak, fenomena ini menggambarkan proses melokalnya makanan global dengan cara-cara dan lewat orang lokal. Gejala macam ini bukan saja menarik dari segi ekonomi, tetapi juga dari kajian budaya. Sebab, makanan-makanan global itu, meminjam istilah Baudrillard, merupakan "simulasi" makanan aslinya. la hanya jiplakan. Disebut demikian karena bahan, bumbu, dan resep makanannya tidak mendapat lisensi dari perusahaan di negeri asalnya. Maraknya warung-warung fried chicken, hamburger, steak, dan Japanese food-selain juga menjamurnya warung makanan lokal-sebetulnya erat kaitannya dengan pola konsumsi masyarakat urban. Melihat perkembangan polarisasi makanan akan membawa kita pada pemahaman akan kondisi pergeseran pola konsumsi masyarakatnya.

Pergeseran konsumsi 

Pada awal tahun 80-an masyarakat Yogyakarta belum mengenali burger dan fried chicken sebab KFC baru melakukan ekspansi pasar pertama ke Yogyakarta di tahun 1984 dengan mendirikan outlet di Swalayan Gelael Jl Laksda Adisutjipto, yang dilanjutkan oleh McD. Baru 20 tahun kemudian, kita melihat mengecambahnya bisnis makanan luar ternyata tak hanya dikuasai McD, KFC, Papa Ron's, Pizza Hut, dan lain-lain. Para pengusaha lokal turut serta memperebutkan rezeki dan meramaikan usaha di bidang ini.

Kemunculan bisnis makanan global ini dapat dilacak dari pergeseran pola konsumsi dari hanya makanan tradisional menjadi beragam makanan ala modern. Namun, pada kenyataannya franchise biasa mematok harga yang menurut ukuran masyarakat kita mahal, sebab maklum mereka mematoknya dengan kurs dollar. Maka, harga kemudian menjadi salah satu faktor yang menghambat akses konsumsi makanan global bagi semua kalangan. Pada titik ini kita dapat melihat potensi pasar yang tak dapat dijangkau oleh franchise, yaitu golongan kelas menengah ke bawah, yang tak dapat menjangkau harga makanan aslinya namun ingin pula menikmati produk yang sama meski dengan harga dan kualitas yang berbeda.

Selain itu, faktor harga juga menyebabkan fragmentasi dalam proses "hamburgerisasi". Bahwa bagi masyarakat kelas menengah ke atas, konsumsi tanda ini biasa dilakukan di ruang ber-AC dalam resto McD atau KFC. Sedangkan akses konsumsi untuk kelas menengah ke bawah cukup dinikmati dalam warung tenda di emperan Jalan Kaliurang.  Substansi keduanya kurang lebih sama, yaitu untuk mempraktikkan pola konsumsi makanan ala luar negeri meski dengan tempat, kualitas, dan harga yang lebih murah. Kemudian, tak ada lagi alasan untuk tidak nyam-nyam, sebab akses telah dibuka selebar-lebarnya untuk semua kalangan.

Keuntungan yang dapat diraih oleh pedagang lokal cukup menggiurkan, apalagi bila memiliki beberapa resto macam Yogyakarta Chicken, KuFC, dan Burger Monalisa. Dengan membuka lahan usaha pada sektor ini, tampak bahwa masyarakat sebetulnya telah memiliki "insting" yang responsif dengan cara melihat peluang pada produk makanan luar untuk dijadikan komoditas. Dari segi perputaran kapital, uang yang kita bayarkan tidak lari keluar negeri sebagaimana kita membayar makanan pada KFC atau McD.

"Hamburgerisasi" oleh masyarakat lokal macam ini tak perlu dicemaskan sebagai ancaman bagi makanan dan budaya lokal Yogya. Sebab, selain bahwa efek globalisasi memang tak dapat ditolak, kemunculannya merupakan alternatif saja dan sebagai makanan komplemen bagi masyarakat urban. Toh, ke depan masyarakat Yogya akan tetap ramai mendatangi warung-warung nasi di pinggir jalan sebab nasi masih menjadi kebutuhan pokok kita.
_____________________
* Pernah diterbitkan oleh KOMPAS Jogja, Senin, 12-07-2004

Ngleremke Ati di Alkid (Alun-Alun Kidul, Jogja)


Lukman S.

Sebagai sebuah kompleks kota khas Jawa, Yogyakarta ditandai dengan keberadaan bangunan keraton, masjid agung, serta alun-alun, yaitu lapangan rumput yang pada bagian tengahnya dihiasi oleh pohon beringin. Konon, konsep Kutaraja seperti ini telah dikenal sejak jaman Majapahit. Di Yogyakarta, sebagaimana juga di Keraton Surakarta, terdapat dua Alun-alun yang memiliki konsep berbeda, Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan atau Alkid (Alun-alun Kidul).
Alun-alun Utara disimbolkan oleh harimau yang berwatak keras dan berangasan, sementara Alkid disimbolkan oleh gajah yang memiliki watak tenang. Secara filosofis, Alkid merupakan daya penyeimbang bagi Alun-alun Utara yang memiliki watak keras. Alkid juga dianggap tempat palereman (tempat istirahat) bagi para dewa, serta tempat hiburan bagi raja dan para tamunya.
Dulu, Alkid pernah menjadi tempat adu harimau melawan kerbau (Rampog Macan). Dalam pertarungan seru itu, harimau biasanya menjadi pihak yang kalah. Harimau melambangkan orang Belanda, sementara Kerbau adalah orang Jawa. Pada masa Sultan HB VII, Alkid kerap menjadi tempat untuk lomba memanah para prajurit keraton. Selain memiliki sifat sebagai tempat ngleremke ati, Alkid juga menjadi jalur untuk mengantarkan jenazah raja menuju Makam Imogiri melewati Plengkung Gading (Nirbaya). Sebab itu, adalah hal tabu bagi raja yang masih memerintah melewati jalur ini.
Hingga masa Sultan HB IX, Alkid yang berada dalam kawasan Jeron Beteng ini tidak bisa sembarangan dimasuki pengunjung. Karena akses utama menuju Alkid, yaitu Plengkung Gading dijaga oleh prajurit keraton. Plengkung Gading hanya dibuka pada pukul 6 hingga 10 malam, di mana setiap pergantian penjaga diadakan satu upacara kecil. Setelah Sultan HB X naik tahta, Plengkung Gading tidak pernah ditutup lagi. Ini mungkin menjadi salah satu penanda mulai dibukanya ruang-ruang “sakral” di Keraton Yogyakarta.
Perkembangan baru ini ternyata direspon secara “kebablasan”. Hingga awal tahun 2000-an Alkid dikenal sebagai surga orang berpacaran bahkan menjadi tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Tentu, bagi sebagian orang, pemandangan ini kurang sedap dipandang. Kondisi ini mulai berubah saat Pemkot Yogya mulai menambah lampu penerangan di kawasan Alkid, sehingga Alkid menjelma sebagai ruang publik yang bebas dari kesan mesum. Sejak medio 2008, mulai bermunculan para penjaja jasa permainan anak-anak, mulai dari andong mini, becak mini, odong-odong, komidi putar mini, hingga arena mandi bola. 
Kini, setiap sore Alkid diramaikan para keluarga yang ingin menghibur (ngleremke ati) putra-putrinya dengan ongkos yang relatif murah. Selain keluarga, para muda-mudi juga cukup senang menikmati wisata kuliner, atau mencoba peruntungan melewati Masangin (masuk di antara dua pohon beringin). Tetapi, perkembangan Alkid sebagai ruang publik rupanya tidak diikuti oleh pemahaman masyarakat tentang makna budaya Alkid dalam kosmologi Jawa seperti diberitakan oleh Kompas (Sabtu, 06/06/09). 
Mungkin saat ini eranya telah berubah. Dulu, penyematan makna budaya dikukuhkan oleh keraton (baca: Sultan), sementara sekarang masyarakat Yogya memiliki cara pandang tersendiri mengenai ruang publik yang ada, termasuk Alkid. Menghapuskan sama sekali makna Alkid sebagaimana kosmologi Keraton Yogya tentu bukan tindakan arif. Di sinilah kiranya pemerintah, pihak keraton, serta penjual jasa di Alkid dapat bertemu untuk merumuskan konsep yang dapat menjembatani antara “kesakralan” Alkid dan “keprofanannya” sebagai ruang publik. []
________________________
* Catatan ketika dulu (2007-2009) setiap Sabtu/Minggu sore nemenin Chiya di Alkid.

Meresapi Keganasan Merapi

Lukman S.
Sejak buku The Geology of Indonesia karangan van Bemmelen terbit pada 1943, Gunung Merapi mulai kondang di mata dunia. Sembilan belas tahun sebelum Bemmelen menerbitkan bukunya, yaitu tahun 1924, berbagai organisasi volkanologi tercatat telah memonitor aktivitas gunung yang terletak sekitar 30 km arah Utara Kota Yogyakarta ini.
Merapi dikenal luas bukan saja karena bentuknya indah laksana kerucut dengan asap sulfatara yang selalu mengepul di ujungnya, melainkan juga karena keganasannya saat terjadi erupsi. Salah satunya wedus gembel, istilah lokal untuk menyebut awan panas yang meluncur pada saat erupsi. Istilah ini menggambarkan gumpalan asap tebal yang dibayangkan mirip wedus (kambing).
Menurut asumsi Bemmelen, Merapi pernah mengalami letusan hebat tahun 1006. Letusan inilah yang menimbun candi-candi di sekitar Merapi, seperti Borobudur dan Prambanan yang berjarak puluhan kilometer. Akibat letusan dahsyat itu, kerajaan Mataram di Jawa Tengah lambat laun berpindah ke Jawa Timur. Asumsi ini mengundang banyak tanggapan dan penyangkalan. Kendati begitu, banyak juga yang meyakini kebenaran asumsi tersebut. Terlepas dari benar tidaknya perkiraan Bemmelen, kami tertarik untuk menyaksikan langsung jejak-jejak keganasan Merapi.
Pagi hari di awal Juni yang mendung, bersama seorang teman saya berangkat menuju obyek wisata Telogo Putri. Kebetulan hari itu ada janji dengan 23 orang peserta Bhakti Pemuda Antar-Propinsi (BPAP) untuk melakukan trekking, berjalan kaki menyusuri Taman Nasional Merapi menuju Lava Tour Kaliadem. Jaraknya sekitar 5 kilometer. “Tidak jauh, kok,” ujar Christian Awuy, pemandu kami yang setiap hari menyambangi lereng dan puncak Merapi.
Telogo Putri terletak sekitar 1 km utara Taman Bermain Kaliurang. Obyek wisata ini menyediakan kolam renang, taman, dan warung-warung kuliner yang berjejer dengan latar belakang pepohonan yang menjulang tinggi. Kawasan Kaliurang memang dikenal sebagai tempat yang sejuk, cocok untuk pelesir dan tempat peristirahatan. Tak heran jika di Kaliurang terdapat banyak vila, hotel, juga bungalo.
Sejak awal abad ke-19, orang Belanda telah membangun beberapa tempat peristirahatan di kawasan ini. Salah satu yang cukup bersejarah adalah Wisma Kaliurang. Wisma ini pernah menjadi tempat perundingan antara Pemerintah RI dan Komisi Tiga Negara, antara lain Belgia, Australia, dan Amerika pada 13 Januari 1948. Kesepakatan dalam perundingan ini dikenal sebagai Notulen Kaliurang.
Usai berkoordinasi dan di-briefing sejenak oleh Pak Awuy, kami segera menenteng ransel untuk memulai penjelajahan. “Di dalam hutan, kita adalah pendatang. Hormatilah makhluk di dalamnya, dan jangan berteriak agar tak mengagetkan penghuni hutan,” pesan Pak Awuy.
Kami lalu memulai perjalanan. Rute yang ditempuh adalah rute penjelajahan yang terbilang ringan. Dengan jarak 5 km dan jalur trekking yang tak terlalu menanjak cukup pas bagi kami yang baru pertama kali munggah gunung. Jalan yang kami lalui adalah jalan makadam, jalan bebatuan yang tersusun dari batu-batu kali. Namun, baru setengah kilometer saja, beberapa peserta sudah ngos-ngosan. “Capek juga ya,” kata Yeni, peserta BPAP dari Bangka Belitung.
Temperatur udara yang lembap dan dingin ternyata tak mampu mengusir peluh yang menetes di dahi. Kawasan Hutan Merapi memang termasuk hutan hujan (rain forest) dengan kelembapan cukup tinggi. Oleh sebab itu, di hutan ini tidak terdapat pohon jati. Di sepanjang jalur trekking, kami mendapati pohon-pohon seperti cemara, puspa, rasamala, salak, juga rotan. Tapi sayang, di jalur ini kami tidak dapat menyaksikan hewan liar, seperti kera atau elang jawa yang terkenal itu.
Melihat kami mulai letih, Pak Awuy mempersilakan untuk istirahat sejenak. Berkali-kali Pak Awuy menekankan agar peserta tidak terpisah jauh dari tim. “Jangan sampai ketinggalan jauh,” katanya. Sebab, dalam menjelajah hutan, kekompakan tim adalah kunci keberhasilan. Jika salah satu anggota tertinggal, atau bahkan hilang, tentu akan menggangu penjelajahan.
Jumlah tim untuk menjelajah gunung juga harus dibatasi, maksimal 12 orang. Hal itu untuk melindungi daya dukung hutan agar tetap terjaga dan tetap alami. Trekking kali ini adalah pengecualian, sebab tim BPAP yang berasal dari Sulawesi Utara, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau tak bisa dipecah ke dalam tim-tim kecil.
Untuk pakaian, sebaiknya mengenakan warna yang senada dengan alam, agar tak terlalu mencolok. Juga, jangan membuang sampah! Ya, dalam setiap penjelajahan, etika menghormati alam senantiasa harus kita jaga. Seperti ungkapan etis para penjelajah di dunia: “Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.”
Setelah sekitar satu jam perjalanan menyusuri jalan setapak berpasir, akhirnya kami sampai di Kali Kuning, salah satu jalur aliran lahar panas dan lahar dingin saat terjadi letusan Merapi. Di tempat ini, aliran kecil air jernih menyeruak dari bebatuan berwarna kelabu yang diselimuti lumut. Bongkahan-bongkahan batu licin yang dahulu bekas aliran lahar panas itu dinamai Watu Kemloso.
Tak jelas benar mengapa dinamai demikian. Yang jelas, menurut penuturan Pak Awuy, bebatuan ini terbentuk dari lahar panas Gunung Merapi tahun 1006, sebagaimana perkiraaan Bemmelen. “Selama enam bulan, sungai ini dialiri lava pijar yang panas, baru kemudian mengeras dan menjadi batu,” tuturnya. Bergidik juga membayangkan lokasi tempat kami berdiri adalah bekas lava pijar. 
 Watu Kemloso
Saya jadi teringat film Volcano yang dibintangi Tommy Lee Jones. Dalam film itu digambarkan bagaimana lava pijar meledak di tengah Kota Los Angeles. Hampir seluruh kota terbakar akibat diterjang lava. Besi-baja meleleh, gedung-gedung seperti melepuh dan rontok. Setelah dibendung dan disiram air berkubik-kubik, akhirnya aliran lava membeku, jadi batu. Los Angeles memang bukan lereng Merapi. Tetapi, dengan penduduk sekitar 1 juta jiwa yang mendiami lereng-lerengnya, ancaman selalu membayang saat Merapi meradang.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Dusun Kinahrejo, tempat Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang terkenal lewat jingle iklan minuman penambah energi, “Rosa! Rosa!”. Di rumah Mbah Maridjan kami melepas penat sambil minum air kemasan. Dengan mengenakan kaos, celana pendek, dan kopiah hitam Mbah Maridjan menyambut kami. Gambaran Maridjan sebagai bintang iklan yang berbaju batik halus dengan pakaiannya siang itu sangat kontras sekali. “Meskipun jadi bintang iklan, Mbah Maridjan tetap hidup sederhana,” ujar Pak Awuy yang menjadi perantara pertemuan siang itu.
Sebelum memasuki kediaman Mbah Maridjan, berkali-kali Pak Awuy memperingatkan kami untuk mematikan kamera, juga memasukkannya ke dalam tas. “Aku ora diphoto, lho!” tukas Mbah Maridjan yang membuat kami melongo. Lho, memangnya kenapa? Ternyata, seperti dijelaskan Pak Awuy kemudian, mungkin dalam kontrak iklan, perusahaan minuman berenergi itu melarang Maridjan untuk diekspos.
Kedatangan kami sebetulnya sekedar mampir. Tidak seperti para pendaki lain yang meminta ijin untuk mendaki Merapi. Tujuan kami adalah melihat secara langsung Lava Tour Kaliadem, obyek wisata bekas letusan Merapi yang berada sekitar setengah kilometer di atas Dusun Kinahrejo.
Usai mengobrol singkat dan bersalaman, kami melanjutkan perjalanan menuju Lava Tour Kaliadem. Lava Tour Kaliadem adalah obyek wisata yang relatif baru. Bagi yang pernah berkunjung ke Kaliadem sebelum musibah letusan Merapi tentu akan kaget dengan kondisinya saat ini. Sejauh mata memandang, kawasan ini telah menjelma menjadi hamparan pasir-batu. Hanya sayang, siang itu mendung menyelimuti Kaliadem. Pemandangan Puncak Merapi yang hanya berjarak sekitar 2 km tertutup awan tebal.
Sebelum erupsi tahun 2006, kawasan ini semula merupakan bumi perkemahan. Warung-warung permanen dan toilet umum yang dulu digunakan oleh para pelancong untuk menikmati kawasan ini telah sirna diterjang pasir, bebatuan, dan awan panas pada 14 Juni 2006 silam. Kaliadem merupakan titik terjauh dari jangkauan semburan material panas Merapi ketika itu, sehingga tidak mencapai permukiman warga.
Meski demikian, dua orang relawan menjadi korban dalam letusan tersebut. Mereka terpanggang di dalam bungker yang tertimbun material panas. Kini wisatawan dapat menyaksikan langsung kondisi bungker. Sementara di pinggir jalan, berjejer kios-kios yang menjual foto dan VCD bergambar erupsi Merapi dan evakuasi kedua korban tersebut.
Dengan duduk mengelilingi bungker, kami mendengarkan cerita Pak Awuy. Menurutnya, menjelang erupsi, tim evakuasi sebetulnya telah memperingatkan dua relawan tersebut untuk turun mengungsi. Namun, mereka enggan dan akan bersembunyi di dalam bungker jika ancaman wedus gembel menerjang kawasan itu.
Tetapi nahas, ternyata Geger Boyo, lereng Merapi di sisi Selatan yang selama ini menjadi penahan guguran lava dan awan panas ambrol. Secepat kilat, muntahan material dan awan panas menerjang kawasan ini. Material sekitar 950 meter kubik menimbun Kaliadem. Tak hanya itu, suhunya yang diperkirakan mencapai 1.000 derajat celcius memanggang kawasan ini. “Esok hari, ketika Tim SAR mencoba menggali bungker, suhunya masih sekitar 300 derajat celcius,” kata Pak Awuy.

Kami lantas memasuki bungker, menyaksikan bekas keganasan Gunung Merapi. Dalam ruang beton setebal 25 cm dengan pintu besi itu, kami tak dapat melukiskan ketakutan kami. “Ngeri banget,” ujar Denny Riswanto, pendamping BPAP asal Sleman.
Genap dua tahun sudah murka alam itu berlalu. Dan kita akan selalu ingat, di balik keindahannya, Merapi selalu menyimpan ancaman untuk menyemburkan lava dan awan panas! []
___________________
* Semacam catatan perjalanan setelah mengikuti FamTrip Pemkab Sleman, Jogja, pada 1 Juni 2009. Dan waktu itu masih bertatap muka dg Mbah Maridjan.

Bangsa dan Kebudayaan Utopia

Saya mengikuti sebuah kelas dengan judul “Pengertian Kebudayaan”. Dan seperti saya bayangkan, kelas ini mengingatkan saya pada kuliah pengantar ilmu budaya, dulu ketika tahun 2002, saat semester pertama di UGM. Pun, sudah saya sadari, ini kelas bukan seperti kelas jurusan Antropologi, atau Humaniora. Ini kelas pengantar untuk para pamongpraja.

Maka melengganglah kelas itu hingga mencuat sebuah pertanyaan dari seorang peserta. Intinya: apakah kebudayaan nasional Indonesia itu ada, apa bentuknya?

Sebelum pertanyaan itu muncul, saya sendiri mencoba menggiring diskusi mengenai definisi kebudayaan. Saya kemukakan bahwa kebudayaan dapat didefinisikan dari dua kerangka: (1) relatif, sebagaimana definisi para antropolog maupun budayawan, (2) positif, sebagaimana dipahami oleh para penekun etika, moral, dan agama.  Definisi yang “relatif” setidaknya merangkum 3 wujud kebudayaan seperti diutarakan Kontjaraningrat mengenai keseluruhan sistem gagasan, perilaku (sistem sosial), dan artefak (budaya materi) yang dijadikan milik manusia melalui belajar. Sementara definisi yang “positif” memberi batasan bahwa budaya itu selayaknya mengacu kepada hal-hal yang positif, yang baik. Sebab itulah ada istilah tidak berbudaya, tidak beradab, dan sebagainya. (Tulisan menarik mengenai ini, misalnya dikupas singkat oleh Kartono Mohamad di Kompas baru-baru ini, dengan judul “Adab”).

Meskipun ada kenyataan sebuah perilaku atau kebiasaan yang sudah terpola, dan diperoleh dengan cara belajar, ia tak bisa serta merta dinamakan kebudayaan, sebab harus dilihat dulu apakah ia bermakna positif, atau tidak. Dalam kaca mata ini, tidak benar misalnya menyebut “budaya malas”, “budaya miskin”, atau “budaya korupsi”. Sebab dengan begitu kita seolah mengamininya.

Diskusi itu kemudian mengerucut pada satu kalimat pamungkas: meskipun korupsi sudah “membudaya”, ia (hanya) layak dianggap sebagai sebuah distorsi, ya sebuah “distorsi kebudayaan”. Kesimpulan ini kurang-lebih selaras dengan perkataan Kartono Mohamad, yang menyimpulkan  bahwa kita memang sudah berbudaya, tetapi kita mungkin (dalam beberapa hal) kurang beradab. Saya mengutarakan ini karena ada sebuah posisi ambigu, setidaknya yang saya alami. Sebagai pembelajar kebudayaan, posisi “definisi relatif” tentu menjadi mutlak karena kebudayaan adalah obyek material untuk dikaji. Kita mencoba menafsirkannya sesuai konteks ruang dan waktu kebudayaan itu. Sementara sebagai bagian dari aparatur, adakalanya “definisi positif” itu diperlukan, misalnya untuk mendukung proses perubahan sebuah kebudayaan.

Tema mengenai definisi itu pun diganti tema lainnya. Tema yang muncul kemudian ini sebetulnya tidak saya sukai karena saya sendiri tidak sepakat untuk menyebutnya, yaitu mengenai “kebudayaan nasional”. Ya, apa kebudayaan nasional itu? Pertanyaan ini dijawab sebagaimana teks sekolah zaman Orde Baru, bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.

Ada beberapa keberatan saya yang tidak saya udarkan dalam diskusi di kelas itu (dengan pertimbangkan bakal memakan waktu dan memicu debat kusir).

Pertama, saya jadi teringat mengenai konsep “suku bangsa”. Tidakkah konsep itu mengandung kepentingan politik untuk mengatakan bahwa setiap suku bangsa di Indonesia adalah sub-bangsa dari sebuah bangsa bernama Indonesia? (Terus terang yang terbayang di benak saya adalah kemustahilan membayangkan ras mongoloid dan negroid dengan kekhasan budaya masing-masing yang coba dipersatukan dalam konsep satu kebudayaan).

Apakah betul bangsa Indonesia itu ada? Pramoedya, misalnya secara tegas menolak konsep bangsa Indonesia itu. Dia katakan bahwa yang ada bukan bangsa Indonesia, melainkan negara Indonesia. Ya, Pram sedang mencoba membedakan antara entitas politik dan budaya. Indonesia adalah proyek politik yang coba dicarikan pembenarannya (dan ini terkadang memaksa) di ranah kebudayaan. Jika sanggahan Pram dapat diterima, bahwa tak ada sebetulnya bangsa Indonesia itu, maka dengan sendirinya keyakinan adanya kebudayaan nasional gugur.

Dalam konteks ini saya tak sedang melupakan beberapa realitas sejarah, semisal diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, yang embrionya sudah menyejarah dan menyatukan komunikasi antar-bangsa di Nusantara. Atau Pancasila yang (konon) menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara. Tidak. Saya sadar bahwa bahasa Indonesia dan Pancasila terlanjur kita terima sebagai temali yang mengikat keberbedaan bangsa-bangsa di Indonesia, yang secara simbolis digambarkan oleh cengkeraman kaki garuda pada pita bertulis Bhinneka Tunggal Ika. Dua contoh ini, memang dapat kita katakan sebagai manifestasi kebudayaan nasional, tetapi tentu terutama dalam kerangka kesatuan politik.

Dan jikapun gagasan Pram tak diterima, ia masih menyisakan ruang untuk mengkritisi konsep kebudayaan nasional itu, bahwa gagasan kebudayaan nasional tak bisa lepas dari satu tujuan politik: kesatuan Indonesia.

Sampai saat ini saya belum menemukan alur yang jelas bagaimana merangkum bangsa-bangsa dengan beberapa kebudayaan khas semisal “kebudayaan Melayu”, “kebudayaan Protomelayu”, “kebudayaan Jawa”, dan “kebudayaan Pasifik”. Dan melihat kenyataan keberagaman itu, saya sampai pada kesimpulan: kebudayaan nasional hanyalah sebuah utopia, terutama utopia politik.

Lalu, definisi mengenai puncak-puncak kebudayaan itu terasa usang dan bias. Sebab dalam dirinya, ia mengundang debat dan sanggahan: jika sebuah kebudayaan di Indonesia dianggap bukan puncak kebudayaan, berarti ia tak diakui sebagai budaya nasional; belum lagi soal apa parameter puncak itu sendiri; bukankah “puncak” mengandaikan lembah dan tanah rendah sebagai pembandingnya, sehingga dengan sendirinya ia tak mengakui atau mendiskreditkan kebudayaan yang tak masuk ke dalam sang “puncak“ itu?
Sebuah entitas kebudayaan, seperti misalnya bahasa Melayu dan Pancasila itu juga menunjukkan hanya sebagian saja elemen dari satu atau beberapa bangsa di Nusantara yang diambil untuk dijadikan dan dianggap sebagai kebudayaan nasional itu.

Kritik ini terlanjur mengarahkan saya untuk berpikir bahwa kebudayaan nasional adalah utopia politik. Jika kebudayaan nasional itu dianggap ada maka ia lahir dari hasrat politik itu, sehingga tak bisa lepas dari hasrat menguasai, menyeragamkan. Kita tahu, bahwa sejarah penjajahan menggiring kita untuk merasa senasib seperjuangan. Dan rasa senasib itulah, sebagaimana didedah oleh Ben Anderson, diudarkan dan diresapi melalui bahasa dan media cetak, sehingga timbul rasa kebersamaan.

Dalam kerangka ini kita bisa lihat bahwa masyarakat Nusantara melampaui titik primordialisme kesukuannya, membayangkan kesatuan lain yang lebih luas yaitu Indonesia. Lalu setelahnya, kita pun tak hanya cukup merasa sebagai satu kesatuan Indonesia, tetapi juga mulai merasa sebagai warga dunia. Romo Mangun mengistilahkannya sebagai generasi pasca-Indonesia, di mana ikatan kesadaran tak lagi sebatas satu Indonesia, melainkan lebih luas dan cair. Pendek kata kesadaran global.

Saya lalu berpikir, tidakkah cukup bagi negara ini untuk memajukan seluruh entitas budaya yang ada, tanpa harus berpikir mengenai proyek untuk mewujud-jadikan budaya nasional yang dapat diakui bersama? Sebab kesatuan politik dan kemudian kesatuan budaya (atau sebaliknya), lahir dari sebuah kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk hidup berdampingan.

Sebab di benak saya, ada kekhawatiran, sebagaimana kita selalu mengkhawatirkan globalisasi yang menjelma homogenisasi, ia dapat membenamkan keunikan dan kekhasan yang telah hidup lama dan menyejarah di Kepulauan Nusantara.[]



May 5, 2011(repost from Facebook)