Hamburgerisasi ala Orang Jogja

Lukman S.

Benar kata Jean Baudrillard soal pola konsumsi masyarakat sekarang, masyarakat yang ia sebut sebagai masyarakat post-modern. Dalam pemahaman pemikir Perancis ini, konsumsi bukan sekadar untuk menghabiskan atau memamah nilai guna (use value), melainkan juga, beserta proses konsumsi itu dikunyah juga citra-citra atau tanda yang dikandung oleh sebuah obyek konsumsi. Demikian juga dengan makanan. la bukan hanya dinikmati kapasitasnya sebagai pengganjal perut (sebagai kebutuhan biologis) tetapi juga untuk mengomunikasikan status sosial tertentu atau sebentuk gengsi.

Bukan itu saja, makanan sebetulnya juga menggambarkan percampuran budaya beberapa kultur akibat globalisasi. Fakta sosial macam ini biasa disebut dengan glokalisasi, yakni pencaplokan unsur lokal untuk melengkapi unsur makanan global agar diterima luas oleh konsumen lokal. Glokalisasi mudah diamati dalam produk ayam goreng KFC yang menyertakan nasi. Di resto burger ia mewujud dalam McSatay atau bubur ayam McD.

Tapi, fenomena yang muncul belakangan, seperti tampak menjamur di Yogyakarta, "makanan bule" macam hamburger dan fried chicken (bahkan sekarang diikuti makanan ala Jepang) banyak dipasarkan oleh masyarakat lokal. Jadi, untuk mengonsumsi burger atau fried chicken, kita tak perlu ke Mall Malioboro yang sudah tentu mahal. Kita cukup mencari gerobak burger atau fried chicken di Jl Gejayan dan Kaliurang. Kondisi ini memperlihatkan bahwa "hamburgerisasi" makanan  masyarakat urban tidak saja mengalir lewat outlet-outlet resmi McD  dan KFC, tetapi juga melalui saluran penetrasi lokal macam gerobak, warung tenda, dan mini resto milik orang lokal.

Bisa jadi, fenomena ini merupakan bentuk lain dari glokalisasi, atau paling tidak, fenomena ini menggambarkan proses melokalnya makanan global dengan cara-cara dan lewat orang lokal. Gejala macam ini bukan saja menarik dari segi ekonomi, tetapi juga dari kajian budaya. Sebab, makanan-makanan global itu, meminjam istilah Baudrillard, merupakan "simulasi" makanan aslinya. la hanya jiplakan. Disebut demikian karena bahan, bumbu, dan resep makanannya tidak mendapat lisensi dari perusahaan di negeri asalnya. Maraknya warung-warung fried chicken, hamburger, steak, dan Japanese food-selain juga menjamurnya warung makanan lokal-sebetulnya erat kaitannya dengan pola konsumsi masyarakat urban. Melihat perkembangan polarisasi makanan akan membawa kita pada pemahaman akan kondisi pergeseran pola konsumsi masyarakatnya.

Pergeseran konsumsi 

Pada awal tahun 80-an masyarakat Yogyakarta belum mengenali burger dan fried chicken sebab KFC baru melakukan ekspansi pasar pertama ke Yogyakarta di tahun 1984 dengan mendirikan outlet di Swalayan Gelael Jl Laksda Adisutjipto, yang dilanjutkan oleh McD. Baru 20 tahun kemudian, kita melihat mengecambahnya bisnis makanan luar ternyata tak hanya dikuasai McD, KFC, Papa Ron's, Pizza Hut, dan lain-lain. Para pengusaha lokal turut serta memperebutkan rezeki dan meramaikan usaha di bidang ini.

Kemunculan bisnis makanan global ini dapat dilacak dari pergeseran pola konsumsi dari hanya makanan tradisional menjadi beragam makanan ala modern. Namun, pada kenyataannya franchise biasa mematok harga yang menurut ukuran masyarakat kita mahal, sebab maklum mereka mematoknya dengan kurs dollar. Maka, harga kemudian menjadi salah satu faktor yang menghambat akses konsumsi makanan global bagi semua kalangan. Pada titik ini kita dapat melihat potensi pasar yang tak dapat dijangkau oleh franchise, yaitu golongan kelas menengah ke bawah, yang tak dapat menjangkau harga makanan aslinya namun ingin pula menikmati produk yang sama meski dengan harga dan kualitas yang berbeda.

Selain itu, faktor harga juga menyebabkan fragmentasi dalam proses "hamburgerisasi". Bahwa bagi masyarakat kelas menengah ke atas, konsumsi tanda ini biasa dilakukan di ruang ber-AC dalam resto McD atau KFC. Sedangkan akses konsumsi untuk kelas menengah ke bawah cukup dinikmati dalam warung tenda di emperan Jalan Kaliurang.  Substansi keduanya kurang lebih sama, yaitu untuk mempraktikkan pola konsumsi makanan ala luar negeri meski dengan tempat, kualitas, dan harga yang lebih murah. Kemudian, tak ada lagi alasan untuk tidak nyam-nyam, sebab akses telah dibuka selebar-lebarnya untuk semua kalangan.

Keuntungan yang dapat diraih oleh pedagang lokal cukup menggiurkan, apalagi bila memiliki beberapa resto macam Yogyakarta Chicken, KuFC, dan Burger Monalisa. Dengan membuka lahan usaha pada sektor ini, tampak bahwa masyarakat sebetulnya telah memiliki "insting" yang responsif dengan cara melihat peluang pada produk makanan luar untuk dijadikan komoditas. Dari segi perputaran kapital, uang yang kita bayarkan tidak lari keluar negeri sebagaimana kita membayar makanan pada KFC atau McD.

"Hamburgerisasi" oleh masyarakat lokal macam ini tak perlu dicemaskan sebagai ancaman bagi makanan dan budaya lokal Yogya. Sebab, selain bahwa efek globalisasi memang tak dapat ditolak, kemunculannya merupakan alternatif saja dan sebagai makanan komplemen bagi masyarakat urban. Toh, ke depan masyarakat Yogya akan tetap ramai mendatangi warung-warung nasi di pinggir jalan sebab nasi masih menjadi kebutuhan pokok kita.
_____________________
* Pernah diterbitkan oleh KOMPAS Jogja, Senin, 12-07-2004

1 komentar:

sholehmuhsin mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

Posting Komentar