Meresapi Keganasan Merapi

Lukman S.
Sejak buku The Geology of Indonesia karangan van Bemmelen terbit pada 1943, Gunung Merapi mulai kondang di mata dunia. Sembilan belas tahun sebelum Bemmelen menerbitkan bukunya, yaitu tahun 1924, berbagai organisasi volkanologi tercatat telah memonitor aktivitas gunung yang terletak sekitar 30 km arah Utara Kota Yogyakarta ini.
Merapi dikenal luas bukan saja karena bentuknya indah laksana kerucut dengan asap sulfatara yang selalu mengepul di ujungnya, melainkan juga karena keganasannya saat terjadi erupsi. Salah satunya wedus gembel, istilah lokal untuk menyebut awan panas yang meluncur pada saat erupsi. Istilah ini menggambarkan gumpalan asap tebal yang dibayangkan mirip wedus (kambing).
Menurut asumsi Bemmelen, Merapi pernah mengalami letusan hebat tahun 1006. Letusan inilah yang menimbun candi-candi di sekitar Merapi, seperti Borobudur dan Prambanan yang berjarak puluhan kilometer. Akibat letusan dahsyat itu, kerajaan Mataram di Jawa Tengah lambat laun berpindah ke Jawa Timur. Asumsi ini mengundang banyak tanggapan dan penyangkalan. Kendati begitu, banyak juga yang meyakini kebenaran asumsi tersebut. Terlepas dari benar tidaknya perkiraan Bemmelen, kami tertarik untuk menyaksikan langsung jejak-jejak keganasan Merapi.
Pagi hari di awal Juni yang mendung, bersama seorang teman saya berangkat menuju obyek wisata Telogo Putri. Kebetulan hari itu ada janji dengan 23 orang peserta Bhakti Pemuda Antar-Propinsi (BPAP) untuk melakukan trekking, berjalan kaki menyusuri Taman Nasional Merapi menuju Lava Tour Kaliadem. Jaraknya sekitar 5 kilometer. “Tidak jauh, kok,” ujar Christian Awuy, pemandu kami yang setiap hari menyambangi lereng dan puncak Merapi.
Telogo Putri terletak sekitar 1 km utara Taman Bermain Kaliurang. Obyek wisata ini menyediakan kolam renang, taman, dan warung-warung kuliner yang berjejer dengan latar belakang pepohonan yang menjulang tinggi. Kawasan Kaliurang memang dikenal sebagai tempat yang sejuk, cocok untuk pelesir dan tempat peristirahatan. Tak heran jika di Kaliurang terdapat banyak vila, hotel, juga bungalo.
Sejak awal abad ke-19, orang Belanda telah membangun beberapa tempat peristirahatan di kawasan ini. Salah satu yang cukup bersejarah adalah Wisma Kaliurang. Wisma ini pernah menjadi tempat perundingan antara Pemerintah RI dan Komisi Tiga Negara, antara lain Belgia, Australia, dan Amerika pada 13 Januari 1948. Kesepakatan dalam perundingan ini dikenal sebagai Notulen Kaliurang.
Usai berkoordinasi dan di-briefing sejenak oleh Pak Awuy, kami segera menenteng ransel untuk memulai penjelajahan. “Di dalam hutan, kita adalah pendatang. Hormatilah makhluk di dalamnya, dan jangan berteriak agar tak mengagetkan penghuni hutan,” pesan Pak Awuy.
Kami lalu memulai perjalanan. Rute yang ditempuh adalah rute penjelajahan yang terbilang ringan. Dengan jarak 5 km dan jalur trekking yang tak terlalu menanjak cukup pas bagi kami yang baru pertama kali munggah gunung. Jalan yang kami lalui adalah jalan makadam, jalan bebatuan yang tersusun dari batu-batu kali. Namun, baru setengah kilometer saja, beberapa peserta sudah ngos-ngosan. “Capek juga ya,” kata Yeni, peserta BPAP dari Bangka Belitung.
Temperatur udara yang lembap dan dingin ternyata tak mampu mengusir peluh yang menetes di dahi. Kawasan Hutan Merapi memang termasuk hutan hujan (rain forest) dengan kelembapan cukup tinggi. Oleh sebab itu, di hutan ini tidak terdapat pohon jati. Di sepanjang jalur trekking, kami mendapati pohon-pohon seperti cemara, puspa, rasamala, salak, juga rotan. Tapi sayang, di jalur ini kami tidak dapat menyaksikan hewan liar, seperti kera atau elang jawa yang terkenal itu.
Melihat kami mulai letih, Pak Awuy mempersilakan untuk istirahat sejenak. Berkali-kali Pak Awuy menekankan agar peserta tidak terpisah jauh dari tim. “Jangan sampai ketinggalan jauh,” katanya. Sebab, dalam menjelajah hutan, kekompakan tim adalah kunci keberhasilan. Jika salah satu anggota tertinggal, atau bahkan hilang, tentu akan menggangu penjelajahan.
Jumlah tim untuk menjelajah gunung juga harus dibatasi, maksimal 12 orang. Hal itu untuk melindungi daya dukung hutan agar tetap terjaga dan tetap alami. Trekking kali ini adalah pengecualian, sebab tim BPAP yang berasal dari Sulawesi Utara, Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau tak bisa dipecah ke dalam tim-tim kecil.
Untuk pakaian, sebaiknya mengenakan warna yang senada dengan alam, agar tak terlalu mencolok. Juga, jangan membuang sampah! Ya, dalam setiap penjelajahan, etika menghormati alam senantiasa harus kita jaga. Seperti ungkapan etis para penjelajah di dunia: “Jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan mengambil apapun kecuali foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.”
Setelah sekitar satu jam perjalanan menyusuri jalan setapak berpasir, akhirnya kami sampai di Kali Kuning, salah satu jalur aliran lahar panas dan lahar dingin saat terjadi letusan Merapi. Di tempat ini, aliran kecil air jernih menyeruak dari bebatuan berwarna kelabu yang diselimuti lumut. Bongkahan-bongkahan batu licin yang dahulu bekas aliran lahar panas itu dinamai Watu Kemloso.
Tak jelas benar mengapa dinamai demikian. Yang jelas, menurut penuturan Pak Awuy, bebatuan ini terbentuk dari lahar panas Gunung Merapi tahun 1006, sebagaimana perkiraaan Bemmelen. “Selama enam bulan, sungai ini dialiri lava pijar yang panas, baru kemudian mengeras dan menjadi batu,” tuturnya. Bergidik juga membayangkan lokasi tempat kami berdiri adalah bekas lava pijar. 
 Watu Kemloso
Saya jadi teringat film Volcano yang dibintangi Tommy Lee Jones. Dalam film itu digambarkan bagaimana lava pijar meledak di tengah Kota Los Angeles. Hampir seluruh kota terbakar akibat diterjang lava. Besi-baja meleleh, gedung-gedung seperti melepuh dan rontok. Setelah dibendung dan disiram air berkubik-kubik, akhirnya aliran lava membeku, jadi batu. Los Angeles memang bukan lereng Merapi. Tetapi, dengan penduduk sekitar 1 juta jiwa yang mendiami lereng-lerengnya, ancaman selalu membayang saat Merapi meradang.
Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Dusun Kinahrejo, tempat Mbah Maridjan, juru kunci Merapi yang terkenal lewat jingle iklan minuman penambah energi, “Rosa! Rosa!”. Di rumah Mbah Maridjan kami melepas penat sambil minum air kemasan. Dengan mengenakan kaos, celana pendek, dan kopiah hitam Mbah Maridjan menyambut kami. Gambaran Maridjan sebagai bintang iklan yang berbaju batik halus dengan pakaiannya siang itu sangat kontras sekali. “Meskipun jadi bintang iklan, Mbah Maridjan tetap hidup sederhana,” ujar Pak Awuy yang menjadi perantara pertemuan siang itu.
Sebelum memasuki kediaman Mbah Maridjan, berkali-kali Pak Awuy memperingatkan kami untuk mematikan kamera, juga memasukkannya ke dalam tas. “Aku ora diphoto, lho!” tukas Mbah Maridjan yang membuat kami melongo. Lho, memangnya kenapa? Ternyata, seperti dijelaskan Pak Awuy kemudian, mungkin dalam kontrak iklan, perusahaan minuman berenergi itu melarang Maridjan untuk diekspos.
Kedatangan kami sebetulnya sekedar mampir. Tidak seperti para pendaki lain yang meminta ijin untuk mendaki Merapi. Tujuan kami adalah melihat secara langsung Lava Tour Kaliadem, obyek wisata bekas letusan Merapi yang berada sekitar setengah kilometer di atas Dusun Kinahrejo.
Usai mengobrol singkat dan bersalaman, kami melanjutkan perjalanan menuju Lava Tour Kaliadem. Lava Tour Kaliadem adalah obyek wisata yang relatif baru. Bagi yang pernah berkunjung ke Kaliadem sebelum musibah letusan Merapi tentu akan kaget dengan kondisinya saat ini. Sejauh mata memandang, kawasan ini telah menjelma menjadi hamparan pasir-batu. Hanya sayang, siang itu mendung menyelimuti Kaliadem. Pemandangan Puncak Merapi yang hanya berjarak sekitar 2 km tertutup awan tebal.
Sebelum erupsi tahun 2006, kawasan ini semula merupakan bumi perkemahan. Warung-warung permanen dan toilet umum yang dulu digunakan oleh para pelancong untuk menikmati kawasan ini telah sirna diterjang pasir, bebatuan, dan awan panas pada 14 Juni 2006 silam. Kaliadem merupakan titik terjauh dari jangkauan semburan material panas Merapi ketika itu, sehingga tidak mencapai permukiman warga.
Meski demikian, dua orang relawan menjadi korban dalam letusan tersebut. Mereka terpanggang di dalam bungker yang tertimbun material panas. Kini wisatawan dapat menyaksikan langsung kondisi bungker. Sementara di pinggir jalan, berjejer kios-kios yang menjual foto dan VCD bergambar erupsi Merapi dan evakuasi kedua korban tersebut.
Dengan duduk mengelilingi bungker, kami mendengarkan cerita Pak Awuy. Menurutnya, menjelang erupsi, tim evakuasi sebetulnya telah memperingatkan dua relawan tersebut untuk turun mengungsi. Namun, mereka enggan dan akan bersembunyi di dalam bungker jika ancaman wedus gembel menerjang kawasan itu.
Tetapi nahas, ternyata Geger Boyo, lereng Merapi di sisi Selatan yang selama ini menjadi penahan guguran lava dan awan panas ambrol. Secepat kilat, muntahan material dan awan panas menerjang kawasan ini. Material sekitar 950 meter kubik menimbun Kaliadem. Tak hanya itu, suhunya yang diperkirakan mencapai 1.000 derajat celcius memanggang kawasan ini. “Esok hari, ketika Tim SAR mencoba menggali bungker, suhunya masih sekitar 300 derajat celcius,” kata Pak Awuy.

Kami lantas memasuki bungker, menyaksikan bekas keganasan Gunung Merapi. Dalam ruang beton setebal 25 cm dengan pintu besi itu, kami tak dapat melukiskan ketakutan kami. “Ngeri banget,” ujar Denny Riswanto, pendamping BPAP asal Sleman.
Genap dua tahun sudah murka alam itu berlalu. Dan kita akan selalu ingat, di balik keindahannya, Merapi selalu menyimpan ancaman untuk menyemburkan lava dan awan panas! []
___________________
* Semacam catatan perjalanan setelah mengikuti FamTrip Pemkab Sleman, Jogja, pada 1 Juni 2009. Dan waktu itu masih bertatap muka dg Mbah Maridjan.

0 komentar:

Posting Komentar