Bangsa dan Kebudayaan Utopia

Saya mengikuti sebuah kelas dengan judul “Pengertian Kebudayaan”. Dan seperti saya bayangkan, kelas ini mengingatkan saya pada kuliah pengantar ilmu budaya, dulu ketika tahun 2002, saat semester pertama di UGM. Pun, sudah saya sadari, ini kelas bukan seperti kelas jurusan Antropologi, atau Humaniora. Ini kelas pengantar untuk para pamongpraja.

Maka melengganglah kelas itu hingga mencuat sebuah pertanyaan dari seorang peserta. Intinya: apakah kebudayaan nasional Indonesia itu ada, apa bentuknya?

Sebelum pertanyaan itu muncul, saya sendiri mencoba menggiring diskusi mengenai definisi kebudayaan. Saya kemukakan bahwa kebudayaan dapat didefinisikan dari dua kerangka: (1) relatif, sebagaimana definisi para antropolog maupun budayawan, (2) positif, sebagaimana dipahami oleh para penekun etika, moral, dan agama.  Definisi yang “relatif” setidaknya merangkum 3 wujud kebudayaan seperti diutarakan Kontjaraningrat mengenai keseluruhan sistem gagasan, perilaku (sistem sosial), dan artefak (budaya materi) yang dijadikan milik manusia melalui belajar. Sementara definisi yang “positif” memberi batasan bahwa budaya itu selayaknya mengacu kepada hal-hal yang positif, yang baik. Sebab itulah ada istilah tidak berbudaya, tidak beradab, dan sebagainya. (Tulisan menarik mengenai ini, misalnya dikupas singkat oleh Kartono Mohamad di Kompas baru-baru ini, dengan judul “Adab”).

Meskipun ada kenyataan sebuah perilaku atau kebiasaan yang sudah terpola, dan diperoleh dengan cara belajar, ia tak bisa serta merta dinamakan kebudayaan, sebab harus dilihat dulu apakah ia bermakna positif, atau tidak. Dalam kaca mata ini, tidak benar misalnya menyebut “budaya malas”, “budaya miskin”, atau “budaya korupsi”. Sebab dengan begitu kita seolah mengamininya.

Diskusi itu kemudian mengerucut pada satu kalimat pamungkas: meskipun korupsi sudah “membudaya”, ia (hanya) layak dianggap sebagai sebuah distorsi, ya sebuah “distorsi kebudayaan”. Kesimpulan ini kurang-lebih selaras dengan perkataan Kartono Mohamad, yang menyimpulkan  bahwa kita memang sudah berbudaya, tetapi kita mungkin (dalam beberapa hal) kurang beradab. Saya mengutarakan ini karena ada sebuah posisi ambigu, setidaknya yang saya alami. Sebagai pembelajar kebudayaan, posisi “definisi relatif” tentu menjadi mutlak karena kebudayaan adalah obyek material untuk dikaji. Kita mencoba menafsirkannya sesuai konteks ruang dan waktu kebudayaan itu. Sementara sebagai bagian dari aparatur, adakalanya “definisi positif” itu diperlukan, misalnya untuk mendukung proses perubahan sebuah kebudayaan.

Tema mengenai definisi itu pun diganti tema lainnya. Tema yang muncul kemudian ini sebetulnya tidak saya sukai karena saya sendiri tidak sepakat untuk menyebutnya, yaitu mengenai “kebudayaan nasional”. Ya, apa kebudayaan nasional itu? Pertanyaan ini dijawab sebagaimana teks sekolah zaman Orde Baru, bahwa kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah.

Ada beberapa keberatan saya yang tidak saya udarkan dalam diskusi di kelas itu (dengan pertimbangkan bakal memakan waktu dan memicu debat kusir).

Pertama, saya jadi teringat mengenai konsep “suku bangsa”. Tidakkah konsep itu mengandung kepentingan politik untuk mengatakan bahwa setiap suku bangsa di Indonesia adalah sub-bangsa dari sebuah bangsa bernama Indonesia? (Terus terang yang terbayang di benak saya adalah kemustahilan membayangkan ras mongoloid dan negroid dengan kekhasan budaya masing-masing yang coba dipersatukan dalam konsep satu kebudayaan).

Apakah betul bangsa Indonesia itu ada? Pramoedya, misalnya secara tegas menolak konsep bangsa Indonesia itu. Dia katakan bahwa yang ada bukan bangsa Indonesia, melainkan negara Indonesia. Ya, Pram sedang mencoba membedakan antara entitas politik dan budaya. Indonesia adalah proyek politik yang coba dicarikan pembenarannya (dan ini terkadang memaksa) di ranah kebudayaan. Jika sanggahan Pram dapat diterima, bahwa tak ada sebetulnya bangsa Indonesia itu, maka dengan sendirinya keyakinan adanya kebudayaan nasional gugur.

Dalam konteks ini saya tak sedang melupakan beberapa realitas sejarah, semisal diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda, yang embrionya sudah menyejarah dan menyatukan komunikasi antar-bangsa di Nusantara. Atau Pancasila yang (konon) menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Nusantara. Tidak. Saya sadar bahwa bahasa Indonesia dan Pancasila terlanjur kita terima sebagai temali yang mengikat keberbedaan bangsa-bangsa di Indonesia, yang secara simbolis digambarkan oleh cengkeraman kaki garuda pada pita bertulis Bhinneka Tunggal Ika. Dua contoh ini, memang dapat kita katakan sebagai manifestasi kebudayaan nasional, tetapi tentu terutama dalam kerangka kesatuan politik.

Dan jikapun gagasan Pram tak diterima, ia masih menyisakan ruang untuk mengkritisi konsep kebudayaan nasional itu, bahwa gagasan kebudayaan nasional tak bisa lepas dari satu tujuan politik: kesatuan Indonesia.

Sampai saat ini saya belum menemukan alur yang jelas bagaimana merangkum bangsa-bangsa dengan beberapa kebudayaan khas semisal “kebudayaan Melayu”, “kebudayaan Protomelayu”, “kebudayaan Jawa”, dan “kebudayaan Pasifik”. Dan melihat kenyataan keberagaman itu, saya sampai pada kesimpulan: kebudayaan nasional hanyalah sebuah utopia, terutama utopia politik.

Lalu, definisi mengenai puncak-puncak kebudayaan itu terasa usang dan bias. Sebab dalam dirinya, ia mengundang debat dan sanggahan: jika sebuah kebudayaan di Indonesia dianggap bukan puncak kebudayaan, berarti ia tak diakui sebagai budaya nasional; belum lagi soal apa parameter puncak itu sendiri; bukankah “puncak” mengandaikan lembah dan tanah rendah sebagai pembandingnya, sehingga dengan sendirinya ia tak mengakui atau mendiskreditkan kebudayaan yang tak masuk ke dalam sang “puncak“ itu?
Sebuah entitas kebudayaan, seperti misalnya bahasa Melayu dan Pancasila itu juga menunjukkan hanya sebagian saja elemen dari satu atau beberapa bangsa di Nusantara yang diambil untuk dijadikan dan dianggap sebagai kebudayaan nasional itu.

Kritik ini terlanjur mengarahkan saya untuk berpikir bahwa kebudayaan nasional adalah utopia politik. Jika kebudayaan nasional itu dianggap ada maka ia lahir dari hasrat politik itu, sehingga tak bisa lepas dari hasrat menguasai, menyeragamkan. Kita tahu, bahwa sejarah penjajahan menggiring kita untuk merasa senasib seperjuangan. Dan rasa senasib itulah, sebagaimana didedah oleh Ben Anderson, diudarkan dan diresapi melalui bahasa dan media cetak, sehingga timbul rasa kebersamaan.

Dalam kerangka ini kita bisa lihat bahwa masyarakat Nusantara melampaui titik primordialisme kesukuannya, membayangkan kesatuan lain yang lebih luas yaitu Indonesia. Lalu setelahnya, kita pun tak hanya cukup merasa sebagai satu kesatuan Indonesia, tetapi juga mulai merasa sebagai warga dunia. Romo Mangun mengistilahkannya sebagai generasi pasca-Indonesia, di mana ikatan kesadaran tak lagi sebatas satu Indonesia, melainkan lebih luas dan cair. Pendek kata kesadaran global.

Saya lalu berpikir, tidakkah cukup bagi negara ini untuk memajukan seluruh entitas budaya yang ada, tanpa harus berpikir mengenai proyek untuk mewujud-jadikan budaya nasional yang dapat diakui bersama? Sebab kesatuan politik dan kemudian kesatuan budaya (atau sebaliknya), lahir dari sebuah kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk hidup berdampingan.

Sebab di benak saya, ada kekhawatiran, sebagaimana kita selalu mengkhawatirkan globalisasi yang menjelma homogenisasi, ia dapat membenamkan keunikan dan kekhasan yang telah hidup lama dan menyejarah di Kepulauan Nusantara.[]



May 5, 2011(repost from Facebook)

0 komentar:

Posting Komentar