Ngleremke Ati di Alkid (Alun-Alun Kidul, Jogja)


Lukman S.

Sebagai sebuah kompleks kota khas Jawa, Yogyakarta ditandai dengan keberadaan bangunan keraton, masjid agung, serta alun-alun, yaitu lapangan rumput yang pada bagian tengahnya dihiasi oleh pohon beringin. Konon, konsep Kutaraja seperti ini telah dikenal sejak jaman Majapahit. Di Yogyakarta, sebagaimana juga di Keraton Surakarta, terdapat dua Alun-alun yang memiliki konsep berbeda, Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan atau Alkid (Alun-alun Kidul).
Alun-alun Utara disimbolkan oleh harimau yang berwatak keras dan berangasan, sementara Alkid disimbolkan oleh gajah yang memiliki watak tenang. Secara filosofis, Alkid merupakan daya penyeimbang bagi Alun-alun Utara yang memiliki watak keras. Alkid juga dianggap tempat palereman (tempat istirahat) bagi para dewa, serta tempat hiburan bagi raja dan para tamunya.
Dulu, Alkid pernah menjadi tempat adu harimau melawan kerbau (Rampog Macan). Dalam pertarungan seru itu, harimau biasanya menjadi pihak yang kalah. Harimau melambangkan orang Belanda, sementara Kerbau adalah orang Jawa. Pada masa Sultan HB VII, Alkid kerap menjadi tempat untuk lomba memanah para prajurit keraton. Selain memiliki sifat sebagai tempat ngleremke ati, Alkid juga menjadi jalur untuk mengantarkan jenazah raja menuju Makam Imogiri melewati Plengkung Gading (Nirbaya). Sebab itu, adalah hal tabu bagi raja yang masih memerintah melewati jalur ini.
Hingga masa Sultan HB IX, Alkid yang berada dalam kawasan Jeron Beteng ini tidak bisa sembarangan dimasuki pengunjung. Karena akses utama menuju Alkid, yaitu Plengkung Gading dijaga oleh prajurit keraton. Plengkung Gading hanya dibuka pada pukul 6 hingga 10 malam, di mana setiap pergantian penjaga diadakan satu upacara kecil. Setelah Sultan HB X naik tahta, Plengkung Gading tidak pernah ditutup lagi. Ini mungkin menjadi salah satu penanda mulai dibukanya ruang-ruang “sakral” di Keraton Yogyakarta.
Perkembangan baru ini ternyata direspon secara “kebablasan”. Hingga awal tahun 2000-an Alkid dikenal sebagai surga orang berpacaran bahkan menjadi tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Tentu, bagi sebagian orang, pemandangan ini kurang sedap dipandang. Kondisi ini mulai berubah saat Pemkot Yogya mulai menambah lampu penerangan di kawasan Alkid, sehingga Alkid menjelma sebagai ruang publik yang bebas dari kesan mesum. Sejak medio 2008, mulai bermunculan para penjaja jasa permainan anak-anak, mulai dari andong mini, becak mini, odong-odong, komidi putar mini, hingga arena mandi bola. 
Kini, setiap sore Alkid diramaikan para keluarga yang ingin menghibur (ngleremke ati) putra-putrinya dengan ongkos yang relatif murah. Selain keluarga, para muda-mudi juga cukup senang menikmati wisata kuliner, atau mencoba peruntungan melewati Masangin (masuk di antara dua pohon beringin). Tetapi, perkembangan Alkid sebagai ruang publik rupanya tidak diikuti oleh pemahaman masyarakat tentang makna budaya Alkid dalam kosmologi Jawa seperti diberitakan oleh Kompas (Sabtu, 06/06/09). 
Mungkin saat ini eranya telah berubah. Dulu, penyematan makna budaya dikukuhkan oleh keraton (baca: Sultan), sementara sekarang masyarakat Yogya memiliki cara pandang tersendiri mengenai ruang publik yang ada, termasuk Alkid. Menghapuskan sama sekali makna Alkid sebagaimana kosmologi Keraton Yogya tentu bukan tindakan arif. Di sinilah kiranya pemerintah, pihak keraton, serta penjual jasa di Alkid dapat bertemu untuk merumuskan konsep yang dapat menjembatani antara “kesakralan” Alkid dan “keprofanannya” sebagai ruang publik. []
________________________
* Catatan ketika dulu (2007-2009) setiap Sabtu/Minggu sore nemenin Chiya di Alkid.

0 komentar:

Posting Komentar