Tamak, serakah,
rakus, atau loba adalah perilaku ingin mendapatkan sesuatu dengan
sebanyak-banyaknya. Termasuk dalam pengertian ini adalah soal ketamakan dalam
beribadah. Rupanya perilaku tamak tidak selalu disandingkan dengan makanan,
harta, atau hal-hal lain yang sifatnya “duniawi”, melainkan juga kepada praktik
ibadah yang sebetulnya lebih bersifat ukhrowi.
Paradoks inilah
yang dengan tajam ditonjolkan oleh A.A. Navis dalam buku kumpulan cerpennya
yang terkenal: Robohnya Surau Kami.
Buku ini mengetengahkan cerpen-cerpen yang secara kuat menggugat makna
keimanan, praktik ibadah keseharian, serta tujuan akhir dari praktik ibadah
tersebut. Dari sebelas cerpen yang terhimpun dalam buku tersebut, saya paling
suka pada dua cerpen, yaitu “Robohnya
Surau Kami” dan “Datangnya dan
Perginya”. Dua cerpen ini mewakili kegelisahan saya mengenai
benturan-benturan yang mungkin terjadi dalam konteks iman dan ibadah terhadap
Tuhan.
***
Dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” diceritakan
mengenai seorang penjaga Surau yang biasa dipanggil Kakek. Si Kakek
menghabiskan waktu bertahun-tahun menjadi penjaga surau: memukul bedug di pagi
buta untuk membangunkan warga di waktu Subuh, sembahyang setiap waktu, serta
bertafakur berjam-jam demi memuliakan nama Tuhan. Kakek ini bahkan tak memiliki
keluarga karena pilihannya hanya mengabdi kepada Tuhan. Tak ada dalam
pikirannya mengenai istri, anak, atau mencari kaya dan bikin rumah. Hati dan
lakunya hanya untuk Sang Maha Pencipta.
Si Kakek hidup
dari sedekah yang dipungutnya setiap hari Jumat. Sekali setiap enam bulan ia
mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam di depan surau.
Dan sekali setahun ia mendapat jatah zakat firah. Sehari-harinya, selain menjadi
abdi surau, Kakek dikenal sebagai pengasah pisau yang andal. Dari situ ia juga
mendapatkan sekadar rokok atau uang rokok dari warga atas bantuannya itu.
Hidup tenang si
kakek mulai terusik ketika seorang warga, Ajo Sidi namanya, dikenal sebagai
pembual karena sering mengarang cerita, menceritakan sesuatu yang membuat hati
si Kakek meradang. Betapa tidak, cerita si Ajo Sidi seolah menempelak pilihan
hidupnya sebagai “abdi Tuhan” menjadi sesuatu yang tak bernilai, bahkan laknat
di mata Tuhan! Ya, laknat, dan karena itu harus dijebloskan ke dalam tungku api
neraka.
Dalam bualan Ajo
Sidi, konon kelak di alam akhirat, manusia mengantre di hadapan Tuhan guna
menerima penilaian baik dan buruk, untuk kemudian mendapat imbalan berupa surga
atau neraka. Tersebutlah seorang Haji yang sudah merasa cukup amal, karena
dalam kehidupannya sehari-hari di dunia tak ada lain yang diperbuatnya kecuali
beribadah: menyeru, menyebut, dan mendzikirkan nama Tuhan.
Dipanggillah
Haji itu ke hadapan Tuhan. Namanya Haji Saleh karena ia pernah ke Mekkah.
Ditanyalah ia oleh Tuhan, apa saja yang diperbuatnya di dunia. Maka mendaraslah
si Haji mengenai kesibukannya beribadah, dan tak ada jawaban lain kecuali itu.
Tuhan tak puas, ditanyanya lagi. Tetapi jawabannya masih sama, dan tak ada jawaban
lain kecuali sibuk beribadah. Dan Tuhan masih bertanya lagi, hingga si Haji
pasrah dan tak dapat menjawab apa-apa lagi. Tetapi secara mengejutkan Tuhan
memasukkannya ke neraka. Ya, neraka! Rupanya Haji yang pernah ke Mekkah ini,
yang selama hidupnya hanya diperbuat untuk menyeru nama Tuhan, melaksanakan
ibadah tepat waktu, tak henti-hentinya berdzikir, diganjar dengan api neraka.
Terbit rasa
ketidakadilan pada diri si Haji, sehingga ia, dengan dukungan teman-temannya
yang tak kalah pula dalam hal beribadah, melakukan demonstrasi di hadapan
Tuhan. Ia menuntut keadilan, dan menyangka Tuhan telah silap. Di hadapan
demonstran itu, Tuhan mendengarkan tuntutan si Haji. Lalu ditanyaNya si Haji
tentang asal-muasalnya yang tinggal di Indonesia; negeri yang tanahnya subur,
kaya tambang, tetapi diperbudak dan dikeruk hartanya oleh orang lain. Di negeri
si Haji itu pula mereka saling bertengkar, dan rela melarat sehingga anak
cucunya tetap juga melarat.
Si Haji mengelak.
Meskipun mereka hidup melarat tetapi mereka semua tetap mejalankan perintah
Tuhan, bahkan anak cucu mereka semua pintar mengaji. Tuhan mulai naik pitam,
dihardiknya si Haji. Katanya, kalau betul engkau mengerjakan perintahKu,
mengapa pula kau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua!
Kata Tuhan:
‘Aku beri kau
negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau
lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak
membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau
miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu
lain tidak memuji-muji dan menyembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk
neraka. Hai, malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di
keraknya!’
Si Haji menjadi pucat
pasi. Digiringlah mereka kembali ke neraka. Tapi si Haji masih sempat bertanya
pada malaikat yang menggiringnya. Tapi jawaban malaikat makin membuat hatinya
kecut. Kata malaikat:
‘Kesalahan engkau, karena engkau terlalu
mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat
bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan
kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya.
Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun’.
***
Adapun cerpen “Datangnya dan Perginya” bercerita
tentang seorang ayah yang dulu pernah biadab kepada anak-istrinya, yang
kemudian bertobat, namun tak seluruhnya dapat terbebas dari dampak perbuatannya
yang lalu-lalu. Kebejatan si Ayah dimulai saat istrinya meninggal. Ketika itu,
anaknya si Masri masih berumur tiga tahun. Ia akhirnya kawin lagi, tetapi
bahtera rumah tangganya tak menemui ketenangan. Ia mendambakan istri barunya
berlaku seperti istrinya yang telah mati. Kehidupannya penuh cekcok dan akhirnya
berujung pada perceraian. Hal itu dilakukan ketika istrinya sedang mengandung
anak kedua.
Suami istri ini
lalu berpisah, dan si Ayah kembali hidup berdua saja dengan anaknya, sedangkan
istrinya pergi entah kemana dengan perutnya yang bunting. Konflik keluarga
ternyata terus berlanjut karena anaknya, Masri, dengan mata kepalanya sendiri,
memergoki Ayah-nya sedang berasyik-masyuk dengan seorang pelacur. Si anak
diusir dan lalu kabur tak kembali lagi.
Kejadian-kejadian
itu lalu menginsyafkan si Ayah, sehingga ia kemudian berbalik menjadi orang
baik, taat beribadah, dan memilih tidak kawin lagi. Lama si Ayah hidup dalam
kesendirian, hingga akhirnya ia mendapat kabar bahwa anaknya kini telah
berkeluarga. Masri, anaknya itu, mengirimnya surat dan foto seukuran poskar:
foto Masri dan anak istrinya. Betapa rindunya si Ayah, dan betapa malunya ia
harus bertemu dengan anak yang dulu pernah diusirnya. Tetapi perasaan kangen itu
tak dapat lagi ditindihnya, sehingga ia memutuskan untuk menemui anaknya.
Perjalanan jauh dengan kereta dilakoninya untuk meminta ampun kepada anaknya,
dan menyaksikan langsung kebahagiaan anaknya kini.
Tapi malang,
ketika di muka rumah sang anak, bukan anak yang dirindukannya yang nampak,
melainkan mantan istrinya, Iyah, yang dulu diceraikannya saat hamil. Mereka
lalu bertengkar tentang masa lalu mereka. Dan nyatalah kemudian, bahwa perbuataan
masa lalunya punya ekor yang tak terduga: Masri anak lelakinya sudah kawin
dengan anak perempuan Iyah yang dulu bercerai dengannya dalam keadaan bunting!
Terbit perasaan
malu, bersalah, dan keinginan untuk menolak kenyataan itu. Di sisa usianya yang
telah senja, ia tak mau mendapat tambahan dosa dengan mengetahui dosa besar
itu, dosa inses yang dikutuk Tuhan. Ia tak mau menjadi bagian dari laknat Tuhan
tersebut. Maka didesaknya mantan istrinya untuk mengatakan hal sebenarnya
kepada Masri. Tapi Iyah berkukuh tak mau merusakkan keluarga kedua anaknya. Ia
tak mampu membayangkan si Arni, anaknya, akan mengalami nasib yang sama seperti
dirinya dulu: dicerai oleh suaminya, bahkan lebih buruk karena sudah beranak
dua dan akan tiga karena Arni sedang bunting.
Pertengkaran dua
orang uzur ini patut sekali untuk disimak:
‘Ini semua dosa
Iyah. Dosa besar. Dosa bagi kita. Dosa bagiku, dosa bagi kau. Juga dosa bagi
mereka. Aku harus memberi tahu mereka. Kalau selama ini aku telah mendapatkan
keridaan Tuhan, kenapa pula harus kukotori di akhir hidupku?’
‘Oh, alangkah tamaknya kau. Maumu hanya
supaya kau saja bebas dari akibat perbuatanmu yang salah dulu. Sehingga kini
kau juga ingin merusakkan kebahagiaan anak-anakmu sendiri. Kau pikir, dapatkah
ampunan itu dikejar dengan menyerahkan diri begitu saja tanpa berani menanggung
risiko dari kesalahan yang telah kau lakukan sendiri? Akal kau, iman kau, hanya suatu ucapan pelarian dari ketakutan pada
pembalasan atas kesalahanmu.’
‘Kau murtad,
Iyah!’
‘Lebih baik
daripada orang sepengecut kau! Memang, adalah dosa besar kalau membiarkan mereka
tidak tahu bahwa mereka bersaudara kandung. Tapi aku dari semula sudah salah.
Aku kasip mengetahui hubungan darah mereka. Dalam hal ini mereka tidak salah.
Dan selagi aku tidak mengatakan sesuatu, aku ditindih perasaan berdosa sepajang
waktu. Tapi aku tahan tindihan itu bertahun-tahun lamanya. Sampai sekarang. Kurangkah imanku, kalau dosaku adalah
dosaku. Dan dosaku itu takkan kubagi-bagikan ke orang lain, apalagi kepada
anak-anakku? Kau sebagai laki-laki tak pernah merasakan pahitnya hidup bercerai
dari suami. Aku merasakan itu. Dan aku tak rela kalau Arni akan menelan
kepahitan seperti yang kutelan dulu.’
***
Kedua cerpen
yang saya nukilkan ini menyiratkan satu hal yang sama: ketamakan untuk meraih
surga sebagai pelampiasan kegagalan menjalani hidup di dunia. Surga adalah
langkah eskapis yang paling mungkin dan janji yang paling menjanjikan, sehingga
untuk mencapainya manusia kerap berlaku serakah dan lupa akan kehidupan sosial
yang mengitarinya.
Contoh ekstrim
perilaku tamak juga dapat ditemui dalam praktik “syahid” yang dipilih oleh para
pengebom bunuh diri. Seorang “pengantin” (sebutan untuk pembom bunuh diri)
misalnya, dengan egoisnya ingin mencapai surga dengan cara yang konyol. Ia tak
ambil pusing dengan dampak yang bakal ditimbulkannya: orang-orang yang
meninggal tanpa tahu kesalahannya apa, anak-anak yang ditinggal bapak/ibunya,
juga anak-istrinya sendiri yang bakal “merana” karena ditinggal bapaknya yang
egois ingin mencapai surga sendirian. Ya, sendirian! Sebab di sana ia berharap
akan bertemu dengan bidadari, yang tentu jauh lebih cantik daripada istrinya
sendiri.
Saya sepakat
dengan pemahaman bahwa ibadah tidak harus selalu berorientasi kepada pahala dan/atau
surga. Sebab, ibadah sejatinya adalah jalan untuk meraih keridaan Tuhan. Setiap
orientasi yang sifatnya balasan kenikmatan di akhirat (seperti surga, bidadari,
maupun sungai-sungai susu yang mengitarinya), saya kira seperti sikap pedagang
yang selalu ingin untung. Sama halnya dengan tren sedekah yang diiming-imingi
akan melipatgandakan rezeki, bukan lagi ditujukan untuk mengharap keridaan
Tuhan. Keridaan Tuhan ini seharusnya menjadi tujuan yang transenden, sehingga
ia mengatasi tujuan lain yang sifatnya untung-rugi.
Dua cerpen ini
saya kira masih cukup relevan untuk direnungkan hingga hari ini. Sebab, masih
banyak kita temukan orang-orang yang dengan gelojoh mencari dan mengumpulkan
remah pahala hanya untuk dirinya sendiri. Juga orang-orang yang enggan mengakui
perbuatan dosanya di masa lalu, yang berakibat fatal bagi orang lain hingga
masa kini. Dua cerpen ini juga mengajak kita untuk berkaca: apakah ibadah yang
kita lakukan lebih karena takut terpanggang panasnya api neraka dan ingin
mendapat balasan surga, atau betul-betul sebagai laku makhluk yang hanya ingin
mendapat rida sang Khalik?
Wallahua’lam...